Nama kambing hitam itu subprime mortgage (SPM). SPM dituding sebagai penyebab penurunan harga saham secara besar-besaran di berbagai bursa dunia seminggu terakhir ini. SPM adalah “warga negara” Amerika Serikat.
SPM semacam kredit pemilikan rumah. Menurut Ben S. Bernanke, Chairman The Federal Reserve Bank, AS, SPM adalah kredit yang diberikan kepada debitor berisiko tinggi. Debitor ini biasanya punya riwayat kredit yang kurang bagus sebelumnya atau orang-orang yang dianggap berpeluang besar untuk “ngemplang” jika diberi kredit lagi. Jika biasanya prime mortgage berbunga 6%, maka bunga SPM bisa di atas 9%.
SPM dimulai pada pertengahan 1990-an. Bank dan lembaga perkreditan punya likuiditas. Didukung oleh kemajuan teknologi informasi, bank dan lembaga perkreditan makin mudah mengumpulkan dan menyebarkan data kelayakan kredit seorang calon peminjam. Biaya pra-pemberian kredit makin murah. Para lender, juga didukung oleh perubahan peraturan, menetapkan prosedur kredit yang lebih mudah. Ketersediaan informasi juga memudahkan mereka mengelola risiko, antara lain, dengan menaikkan suku bunga.
SPM tumbuh pesat. Orang-orang (AS) yang dulunya hanya bisa nyewa apartemen, lalu ramai-ramai beli rumah. Industri properti AS tumbuh pesat, kawasan perumahan baru bermunculan di mana-mana. Porsi kredit SPM terhadap total mortgage di AS, menurut Ben, naik mencapai 10%. Menurut Harian Investor Daily (edisi 16 Agustus 2007), porsi SPM sekitar 15% dengan nilai US$800 miliar (sekitar Rp736 triliun).
Dulu, kreditor akan “memegang” mortgage – prime maupun subprime – tersebut hingga lunas. Kreativitas SPM diikuti perkembangan second mortgage. Peraturan baru memungkinkan kreditor awal menjual mortgage-nya kepada sejumlah lembaga keuangan lain dengan mudah. Lembaga tersebut kemudian memaketkan second mortgage tersebut menjadi surat berharga yang selanjutnya dijual lagi ke sejumlah investor yang, antara lain, diwakili oleh fund manager. Siklus ini memicu pertumbuhan mortgage -- prime maupun subprime – lalu second mortgage, sekuritisasi dan seterusnya.
Semuanya berjalan lancar hingga suku bunga naik. Debitor mulai menunggak pelunasan cicilan mortgagenya. Jumlah penunggak naik pesat sejak pertengahan 2006. Kredit macet, terutama dari kelompok SPM, membengkak. Kreditor mulai menyita kembali propertinya. Ini, antara lain, menyebabkan harga properti anjlok. Pada saat yang sama tidak ada lagi investor baru yang membeli paket-paket sekuritas yang awalnya mortgage itu atau jika ada yang mau membeli maka mereka meminta diskon besar-besaran. Lalu, sejumlah kreditor tidak sanggup lagi memenuhi kewajibannya dan menyatakan diri bangkrut. Lingkaran setan keruntuhan pun dimulai.
Lingkaran itu membesar dan menjalar ke pasar modal. Sejumlah lembaga pengelola dana yang berinvestasi (besar) di SPM harus melego sekuritas lainnya untuk melunasi berbagai kewajibannya. Ini menyebabkan harga saham anjlok. Lalu, seperti kita tahu bersama, indeks Dow Jones Industrial Average turun drastis dalam dua minggu terakhir ini. Demikian pula halnya dengan NYSE Composite.
Kekhawatiran itu kemudian menular ke bursa-bursa lainnya. Sindrom Wall Street meriang bursa lain demam hebat kembali terulang. Dan itu termasuk Bursa Efek Jakarta (BEJ). Awalnya, kekhawatiran itu hanya bersemayam dalam benak para investor. Akan tetapi, seperti kata Gerorge Soros, kenyataan adalah apa yang engkau pikirkan: kekhawatiran benar-benar menjelma menjadi kenyataan.
Di BEJ kekhawatiran berarti para investor – entah ada kaitan dengan subprime mortgage atau tidak -- berlomba-lomba menguangkan saham yang dipegangnya – yang kebetulan beberapa bulan terakhir ini sudah naik pesat. Karena semuanya menjual maka harga saham pun turun. IHSG BEJ dalam dua hari terakhir – 15 dan 16 Agustus 2007 – anjlok 12%. Nilai kapitalisasi pasar BEJ pada periode 10-16 Agustus 2007 juga terpangkas sekitar 12%. Mau tahu berapa nilai 12% itu? Ternyata, Rp 191,67 triliun Saudara, sama dengan 25,1% dari rancangan APBN 2008 sebesar Rp761,4 triliun, seperti yang diajukan oleh Presiden SBY ke DPR Kamis (16/8). Betapa mahal harga kekhawatiran terhadap subripme mortgage yang terjadi jauh di Amerika sana? (Baso Amir)
Beginilah potret kapitalisme global. Mereka pergi mencari untung kemana saja. Mereka tidak mengenal nasionalisme!Kita memberikan mereka fasilitas dan instrument yang sangat "memanjakan". Kita mengagungkan mereka!Padahal, Joseph Stigliz pernah berujar: "Jangan dengar apa yang Amerika ujarkan, lihat apa yang mereka lakukan!" Mereka memproteksi dirinya juga.
BalasHapusThe Fed sudah mulai mengucurkan uangnya kepasar untuk menenangkan suasana.
Apa yang bisa kita lakukan? uang sebesar APBN 2008 hilang begitu saja. hmmm Masih bisa diam?Mungkin SBY,Budiono atau yang lain bisa bilang inilah hukum pasar. Ya. betul. Hukum pasar yang kuat memakan yang lemah.
Uang produktif dan kepercayaan telah "pudar".