Selasa, 13 Januari 2009

Politik Silaturahmi

Santun Budiman, teman saya, tiba-tiba sudah menyapa ketika saya hendak membuka kunci pagar rumah sepulang shalat Subuh berjemaah. “Saya butuh pendapatmu, kawan,” katanya. Ini pasti sesuatu yang sangat penting, kataku dalam hati. Bangun pagi-pagi buta bukan suatu yang mudah buat Santun yang terbiasa tidur setelah film ke-2 di Trans TV berakhir. Saya juga menduga ini sesuatu yang menyenangkan sebab Santun menambahkan kawan di belakang kalimatnya.

Tanpa saya silakan Santun ikut masuk. “Saya ingin menulis buku. Tema besarnya, politik adalah silaturahmi,” kata Santun setelah duduk di kursi plastik di teras rumah. ”Bagaimana menurutmu ide itu?”

Terus terang saya tidak terlalu mengerti politik. Tetapi Santun beranggapan sebaliknya. Penyebabnya hanya satu, dia merasa selalu bisa ”nyambung” dengan saya jika dia bicara politik, terutama ”isyu-isyu terbaru di dunia politik.” Padahal, apa yang saya kemukakan itu sebagian besar saya baca dari koran yang biaya langganannya ditanggung oleh kantorku. Selain itu, sekarang kan hampir semua koran punya versi web dan GRATIS.

”Bagaimana menurutmu ide itu?” Santun mengulangi pertanyaannya.

”Bagaimana ya?” kataku. ”Bagaimana kok ide itu bisa muncul?” Biasa kan kalau bingung menjawab pertanyaan, ya ajukan lagi pertanyaan.

”Simple, kawan!” Santun mengeluarkan HP-nya lalu menunjukkan sebuah SMS dari kawannya yang kebetulan saya kenal juga.”SMS ini memicu ide itu.” Saya makin blank!

”Tahu nggak, saya sudah enam belas tahun tidak pernah bertemu X (nama sebenarnya sengaja disamarkan),” cerita Santun. ”Selama ini kami hanya saling ber-SMS, paling tidak sekali setahun, pada waktu lebaran, tetapi SMS-an yang terakhir ya empat tahun silam.”

”Sekitar delapan bulan lalu,” Santun meneruskan ceritanya, ”Saya menelepon X di HP tetapi tidak pernah diangkat. Saya SMS tidak pernah dibalas. Saya telepon ke kantornya, dia tidak pernah ada di tempat. Saya tinggalkan pesan melalui sekretarisnya, dia juga tidak pernah membalas. Buat saya X hilang ditelan bumi, tidak bisa dihubungi, padahal saya mengontaknya karena hendak minta sumbangan untuk renovasi mesjid di kampung saya.”

Dari Santun dan beberapa teman lainnya, saya dapat kabar X memang sudah makmur. X menjadi pengusaha. Bisnisnya memasok keperluan beberapa departemen dan kantor pemerintah. Saya bisa maklumi jika Santun hendak meminta sumbangan kepadanya, apalagi itu untuk investasi akhirat.

“Kawan tahu? Sabtu minggu lalu X tiba-tiba ngirim SMS ke saya,” kata Santun menyodorkan HP-nya. “Lihat itu!”

Saya lalu membuka SMS tersebut. SMS-nya panjang, lebih dari 600 bite. Isinya, profil singkat X, di mana dan kapan dilahirkan, pendidikan terakhir, status pernikahan, pekerjaan, posisi di sebuah di sebuah partai politik serta nomor urut calon DPR-RI dan di daerah pemilihan mana X dicalonkan. Singkatnya, X mohon doa restu dan dukungan dari Santun dan keluarganya agar pada hari pemilihan umum memilihnya.

“Lalu?” kataku, “Apa hubungan SMS ini dengan ide bukumu, Politik adalah Silaturahmi?”

”Jelas dong! X hendak terjun ke dunia politik. Dia ingin menjadi anggota DPR-RI yang terhormat. Dia berusaha dan lalu kenal petinggi partai itu. Akhirnya dia menjadi calon anggota DPR-RI dari daerah pemilihan Y. Agar terpilih X mulai minta dukungan, dia mulai menjalin ”kembali” tali silaturahim dengan orang-orang dia anggap bisa memilihnya atau bisa mengerahkan orang lain untuk memilihnya. Saya yakin, SMS seperti ini tidak hanya dikirim ke saya.”

“Jadi, politik itu silaturahmi, kawan!” ujar Santun dengan mata berbinar seolah menemukan sebuah teori besar. “Silaturahmi inilah yang dilakukan oleh Obama hingga bisa mengalahkan John McCain. Bedanya, Obama menjalin dan membangun silaturahmi dengan pendukungnya dan orang-orang yang diperkirakan dapat mendukungnya jauh sebelum mencalonkan diri menjadi presiden AS. Dia mulai dari lingkungan tempat tinggalnya. Sementara teman saya ini, X, mau menjalin silaturahmi setelah merasa benar-benar butuh dukungan.”

Saya mulai menangkap ide Politik adalah Silaturahmi. Tetapi tetap saya belum bisa memberikan opini atas ide tersebut. Sebelum Santun menanyakan kembali hal itu, saya dahului dia dengan pertanyaan, “BTW (kayak SMS saja), kau akan memilih X?”

“Tidak!” Santun menjawab cepat.

“Mengapa?”

“Saya kan tidak tinggal di daerah pemilihan X.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar