Jakarta yang Aman dan Nyaman:
Mulai dari Angkutan Umum
Angkutan umum yang aman dan
nyaman merupakan impian seluruh warga Jakarta dan sekitarnya. Kelompok masyarakat
pengguna merindukannya karena terkait langsung dengan kebutuhan transportasi
hariannya. Adapun kelompok masyarakat menengah atas – yang sehari-hari bermobil
ria di tengah himpitan kemacetan lalu-lintas -- mengharapkannya karena sarana
angkutan umum yang aman dan nyaman merupakan salah satu “alat” pengurai
kemacetan lalu-lintas di Jakarta yang kian hari kian parah. Angkutan umum yang
nyaman dan aman akan mengurangi penggunaan mobil pribadi.
Masalahnya, gubenur DKI
Jakarta silih berganti, tetapi benang kusut angkutan umum tak kunjung bisa diurai.
Hal sebaliknya malah terjadi, angkutan umum makin amburadul, kian tak nyaman
dan makin tak aman. Transjakarta, misalnya, setelah dioperasikan selama kurang
lebih 9 tahun, selain bus-busnya mulai dimakan usia, pelayanannya pun tidak
menjadi makin baik. Saya pernah berdiri di satu halte koridor 4 Transjakarta selama
40 menit tanpa tahu kapan busnya tiba. Bahkan, menurut tempo.co pelecehan seksual
di Busway meningkat 100 persen.
Mengerikan?
Itu belum seberapa mengerikan
dibandingkan kejadian di bus kota konvensional. Di situ ada copet, pengamen,
pedagang, tukang baca puisi bahkan pengkhotbah. Sesekali bus kota,
seperti dikutip oleh tempo.co, digunakan untuk merampok dan memperkosa
penumpang.
Kendati begitu, seperti kita
saksikan sehari-hari, Transjakarta, terutama pada jam-jam sibuk tetap penuh
sesak. Antrian penumpang di halte transit Dukuh Atas dan Harmoni tetap “mengular.”
Bus-bus konvensional pun setali tiga uang. Jika misalnya di tengah jalan penumpang
diturunkan dan diminta pindah ke bus lain, mereka hanya bersungut-sungut
sebentar lalu naik ke bus penampung. Para penumpang tak punya alternatif lain,
kecuali mau bayar lebih mahal dengan naik taksi misalnya.
Ada persepsi keliru
Pemerintah DKI Jakarta tentang angkutan umum. Kenyamanan selalu dianggap sama
dengan penambahan rute baru, pembelian bus baru, pembangunan halte baru,
pembangunan terminal baru dan berbagai sarana fisik lainnya. Tampaknya persepsi
keliru itu masih dianut oleh dua pasangan calon Gubernur DKI Jakarta yang akan bertarung
dalam Pemilukada putaran ke-2 September 2012. Pasangan Joko Widodo-Basuki
Tjahaya Purnama yang menurut PoliticaWave – data sebelum Pemilukada putaran
pertama diselenggarakan – mendapat Buzz tertinggi, mengusung program
kerja penambahan bus Transjakarta hingga 1.000 unit jika terpilih jadi gubernur.
Lagi-lagi sarana fisik!
Program pasangan Foke-Nara yang menurut PoliticaWave selalu menempati posisi ke-2 dalam hal "share of citizen" kurang
lebih sama: meningkatkan pelayanan Busway.
Prasarana dan sarana fisik
memang perlu untuk membangun angkutan umum yang nyaman dan aman di Jakarta
(juga di kota lainnya). Akan tetapi itu tak akan berarti jika “perangkat
lunaknya,” manusia, yang akan mengoperasikan sistem transportasi tersebut
dibaikan. Akan tetapi itulah yang terjadi selama ini. Pemerintah tidak pernah
menetapkan sistem operasi dan prosedur (SOP) angkutan umum.
Semua diserahkan ke masing-masing operator – yang dalam kasus angkutan umum
konvensional bisa saja perorangan. Tidak ada, misalnya, aturan tentang standar
prilaku, pelayanan dan ketrampilan yang harus dimiliki seorang sopir sebelum
menjadi sopir angkutan umum. Di Jakarta, siapa saja boleh jadi sopir angkutan
umum. Pemerintah baru kaget dan kebakaran jenggot jika ada sopir dan
teman-temannya, merampok dan memperkosa penumpangnya. Setelah itu dibuat aturan
reaktif, para sopir disuruh mengenakan tanda pengenal dan baju seragam. Tetapi beberapa bulan
kemudian, seperti biasanya, ketika pemerkosaan mulai dilupakan, aturan itupun
dilupakan hingga terjadi lagi pemerkosaan berikutnya!**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar