Kamis, 07 Mei 2009

BUMN Menunggu IHSG 2.000 Poin?

Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan menjual sahamnya di pasar modal akan dilakukan jika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) melebihi 2.000 poin. Itu pernyataan Sofyan Djalil, Menteri Negara BUMN pada acara Breakfast Meeting di Gedung Perum Bulog, Jakarta, Rabu (6/5).


Persyaratan di atas, tentu sangat berat. IHSG BEI pada Rabu (6/5) ditutup pada 1.798,336 poin. Itu berarti masih perlu naik sekitar 200 poin untuk mencapai 2.000 poin. Pada perioe 5 Januari-5 Mei 2009 IHSG secara kumulatif naik 361 poin (sekitar 25%) atau rata-rata 4,4 poin selama 81 hari perdagangan BEI. Artinya, mengacu pada angka tersebut, masih diperlukan sekitar 45 hari perdagangan baru BUMN mulai bersiap untuk melakukan penawaran perdana saham kepada publik.


Sebenarnya, IHSG sebagai persyaratan menjual saham BUMN kepada masyarakat tidak relevan. Investor sesungguhnya tidak peduli apakah IHSG BEI 2.000 poin atau di bawahnya ketika hendak membeli saham di pasar perdana. Mereka lebih memperhatikan apakah harga saham perdana BUMN itu akan meningkat ketika mulai diperdagangkan di pasar sekunder atau tidak. Hal tersebut sangat terkait dengan kinerja funadamental serta harga perdana saham tersebut dibandingkan laba bersih per sahamnya. Intinya, mereka lebih fokus pada kinerja BUMN (juga emiten non BUMN) yang melakukan penawaran perdana ketimbang IHSG.


Selain itu, IHSG adalah suatu yang sangat labil, setiap detik pada hari perdagangan bisa berubah, sesuai dengan perubahan harga saham yang diperdagangkan di pasar sekunder. Bisa saja hari ini 2.000, besok turun menjadi 1.750 poin dan sebaliknya.


Jadi, sebenarnya, tidak pada tempatnya jika Kementerian BUMN menetapkan IHSG sebagai patokan bagi BUMN masuk bursa. Yang paling penting sebenarnya tentukan BUMN yang memerlukan pendanaan (untuk pengembangan bisnis) dengan menjual saham baru di pasar modal. Tentu saja harus dipastikan bahwa pendanaan dengan menjual saham baru sebagai alternatif yang paling efisien dan efektif dibandingkan dengan pendanaan lain, utang misalnya. Jadi, BUMN masuk bursa bukan semata-mata karena sekadar memenuhi privatisasi.


Setelah itu pilih BUMN yang “seksi”, yang memang akan menarik minat investor untuk membeli sahamnya karena percaya bahwa dana yang ditanamkan di BUMN itu akan mendatangkan keuntungan baginya. Kinerja BUMN tersebut harus bagus dan prospeknya di masa mendatang tidak kalah bagusnya.


Jika persyaratan tersebut dipenuhi, maka saham perdana BUMN tersebut akan diminati. Jadi, mengapa mesti menanti sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan? Tetapkan saja BUMN-nya sekarang, tentukan harganya dan mulai tawarkan. Lalu lihat minat investor, apakah tertarik atau tidak? (Baso Amir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar