Joan
Morrissey, Kepala Sekolah St. Agnes di Arlington, Massachusetts, AS pada awal
tahun 1990-an, boleh jadi seorang kapitalis berkadar 99,99%. Ia sangat percaya
bahwa pasar modal, asal tahu dengan tepat
memanfaatkannya, merupakan sarana yang paling demokratis untuk
melipatgandakan kekayaan. Itu sebabnya siswa St. Agnes harus diajari
“berpasar-modal” sejak dini.
Untuk
mengajari siswanya, Morrissey tidak memerlukan modal yang besar, kecuali beberapa
buah pizza. Ia juga tidak membebani para siswanya dengan hapalan tentang pasar
modal dan berbagai istilah teknis perusahaan lainnya. Setiap tahun, Morrissey
membagi murid-murid kelas tujuh di sekolahnya menjadi beberapa kelompok yang
terdiri atas empat siswa per kelompok. Para siswa berhak menetapkan nama
kelompoknya. Maka muncullah nama-nama seperti ini: Rags to Riches, The Wizard
of Wall Street, Wall Street Women, The
Money Machine, Stocks R Us, hingga Lynch Mob.
Setiap
kelompok dimodali “uang-uangan” US$ 250.000. Setelah itu, masing-masing
kelompok ditugaskan membaca koran keuangan Investor’s Business Daily – koran ini didirikan oleh William J. O'Neil,
salah seorang legenda di Wall Street yang memperkenalkan formula CANSLIM dalam pemilihan saham. Dari
koran itulah setiap kelompok membuat daftar perusahaan publik yang dinilai
menarik. Mereka lalu meriset masing-masing perusahaan untuk melihat bagaimana
perkembangan penjualan dan laba bersihnya serta keunggulan tiap-tiap perusahan
dibandingkan dengan yang lainnya. Berdasarkan hasil riset itulah setiap
kelompok membentuk portofolio investasi dengan membeli saham perusahaan
tersebut dengan "uang-uangan" tadi.
Morrissey
membuat aturan bahwa setiap portofolio minimal berisi 10 perusahaan dengan satu
atau dua perusahaan yang terbukti membayarkan dividen lebih besar pada
tahun-tahun sebelumnya. Aturan berikutnya, sebelum menempatkan satu perusahaan
di dalam portofolionya, setiap kelompok harus memaparkan di hadapan teman-teman
dan gurunya tentang apa dan siapa perusahaan tersebut. Jika mereka tidak mampu
menjelaskan, misalnya, jasa atau produk perusahaan yang bersangkutan maka
mereka tidak diperkenankan "membelinya." Soalnya, kata Morrissey,
seperti dikutip oleh Peter Lynch dalam bukunya, Beating the Street, tema utama
kegiatan "pengelolaan portofolio" di St. Agnes adalah "beli apa
yang kamu tahu."
Jangan
heran jika ada di antara pilihan para "fund manager" ST. Agnes adalah
perusahaan yang tidak pernah dilirik oleh para fund manager profesional di Wall
Street. Contohnya, Pentech International, produsen pena berwarna. Salah satu
produk Pentech yang sangat populer di kalangan siswa, termasuk siswa St. Agnes
adalah pena berujung dua: di ujung pertama adalah penanda (marker) dan ujung lainnya untuk meng-highlight. Beberapa di antara kelompok itu menggunakan produk
Pentech untuk menandai saham-saham pilihannya.
Lalu
beberapa kelompok meriset Pentech yang ketika itu sahamnya diperdagangkan US$ 5
per unit. Hasilnya, Pentech adalah sebuah perusahaan yang tidak punya beban
utang jangka panjang. Selain itu, menurut para siswa St. Agnes, kualitas produk
Pentech tergolong super. Karena sangat populer di kalangan siswa St. Agnes,
mereka yakin bahwa produk ini akan diterima secara nasional di AS. Tidak kalah
pentingnya, Pentech belum sepopuler Gillette, yang antara lain memproduksi pena
Paper Mate dan pisau cukur Good News. Tidak lama setelah siswa-siswa St. Agnes
"menemukan" saham tersebut, kurs Pentech meningkat menjadi US$ 9,5
per saham.
Saham
pilihan siswa-siswa St. Agnes lainnya adalah Walt Disney Company, produsen
sepatu karet Nike dan L.A. Gear, produsen pakaian anak-anak The Gap, produsen
minuman ringan PepsiCo, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, produsen kudapan
Prito Lay dan produsen kartu baseball Topps. Khusus untuk yang terakhir,
menurut Morrissey, para siswa beralasan, "Setiap siswa membeli kartu
baseball buatan Topps dan Topps adalah satu-satunya perusahaan yang
menghasilkan produk yang benar-benar terbeli oleh para siswa. Lagipula, setiap
kami membeli kartu Topps berarti kami ikut menyumbang untuk pemingkatan
penjualan perusahaan tersebut."
Peter
Lynch, mantan pegelola Fidelity Fund dan juga seorang legenda stock picker di Wall Street
mengemukakan, prosedur dan prinsip pemilihan saham yang dilakukan oleh
siswa-siswa St. Agnes juga diterapkan oleh para fund manager profesional.
Tetapi banyak juga yang tidak peduli lagi pada prinsip dan prosedur
seperti itu dalam pemilihan saham. "Beli apa yang kamu tahu adalah
strategi canggih yang telah dilupakan banyak
fund manager," tulis Peter Lynch.
Boleh
jadi karena punya prinsip dan prsedur, pada periode 1990-1991, menurut Peter,
nilai portofolio St. Agnes naik 70%, mengalahkan indeks S&P 500 yang hanya
meningkat 26% pada periode yang sama. Pada periode itu pula St. Agnes
mengalahkan 99% reksa dana saham yang pengelolanya dibayar mahal karena
keahliannya dalam pemilihan saham.
Moral
cerita di atas, menurut Peter Lynch, Anda tidak perlu ahli di bidang keuangan
atau punya gelar MBA dari universitas ternama -- untuk kasus ini Peter menyebut
Wharton -- untuk mumpuni dalam hal pemilihan saham perusahaan publik. Buktinya,
itu dapat dilakukan oleh siswa-siswa grade 7 di sekolah St. Agnes yang bahkan
belum punya surat izin mengemudi (SIM). Hal yang paling penting adalah Anda
harus memiliki prinsip investasi dan prosedur pemilihan saham untuk menerapkan
prinsip tersebut. Lalu, jalani prinsip dan prosedur itu dengan konsisten.
Sederhana, tetapi tentu saja tidak sederhana dalam praktek, apalagi kalau Anda
mempertaruhkan uang benaran yang boleh jadi diperoleh dari pesangon PHK di
sebuah perusahaan.
Selain
itu, kata Peter, para fund manager
profesional sering diprofilkan secara berlebih-lebihan seperti layaknya para
selebriti di media hiburan. Ini yang membuat para stock picker amatir minder sehingga pada
akhirnya lebih mempercayakan duitnya kepada fund
manager reksa dana atau memilih menjadi trader
di bursa saham yang kadang-kadang tidak memerlukan pengetahuan fundamental
tentang perusahaan yang hendak dibeli sahamnya, tetapi lebih memperhatikan
apa kata Gubernur Bank Sentral atau pengamat ekonomi. Pasar modal memang membutuhkan trader, tetapi jika isi pasar
modal sebagian besar adalah trader, maka ia sesungguhnya telah berubah menjadi
kasino.**
PS: Artikel ini pernah dimuat di Majalah SWA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar