Sabtu, 24 Desember 2005

Nurdin Khalid Kabarra-barra

Ketika masih duduk di bangku SMP di Makassar saya sering bermain adu layang-layang. Untuk menerbangkan layang-layang aduan digunakan benang khusus yang telah digelas.

Benang bergelas adalah benang biasa yang telah dicelupkan ke dalam larutan yang merupakan campuran antara gum Arab sebagai lem dan serbuk kaca beling. Supaya kering dan serbuk beling menempel bagus, setelah dicelupkan ke dalam larutan, benang direntangkan hingga kering di dua tiang bambu yang sengaja dipancangkan untuk penggelasan.

Penggelasan ini memerlukan ketrampilan khusus. Pecahan beling yang halus harus menempel rata di benang. Jika tidak maka benang akan mudah putus ketika diserang oleh lawan dan itu akan membuat permainan kurang mengasyikkan.

Selain kualitas benang, "kesuksesan“ mengadu layangan juga ditentukan oleh ketrampilan si penerbang layangan. Kita harus melakukan manuver serangan yang tepat untuk memutus benang layangan lawan. Kita harus tahu waktu yang tepat kapan menukikkan layangan menyerang benang layangan lawan dan mengulurnya dengan cepat.

Nah, dalam permainan ini ada layang-layang yang perkasa. Ia tetap bertahan di angkasa sendirian setelah semua benang lawan putus dan layangnya terbang entah kemana.

Di Makassar, layangan perkasa, yang bertahan sendirian di angkasa ini disebut layangan “kabarra-barra.” Kabarra-barra berarti jago, hebat, perkasa, tidak terkalahkan. Terminologi ini juga sering digunakan dalam arena sabung ayam. Seekor ayam jago akan disebut kabarra-barra jika berhasil membunuh beberapa jago, walau pada akhirnya ia terbunuh juga. Di atas langit masih masih ada langit kan?

Ibarat layangan, Nurdin Halid tergolong “kabarra-barra.” Tentu saja dia “kabarra-barra” dalam arena hukum. Bayangkan, sudah berkali-kali lelaki kelahiran Bone, Sulawesi Selatan pada 1958 itu diadili dalam perkara korupsi. Akan tetapi berkali-kali pula dia dibebaskan oleh majelis hakim. Beberapa kasus korupsi yang dituduhkan kepadanya pun menguap entah kemana.

Pembebasan terakhir Nurdin Halid terjadi pada Kamis, 15 Desember 2005. Majelis Hakim yang dipimpin oleh Humuntal Pane di Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak dapat menerima dakwaan jaksa penuntut umum untuk perkara korupsi impor gula. Majelis hakim memang tidak menyebut “bebas“, tetapi ujungnya sama, Nurdin – paling tidak hingga kolom ini saya tulis – tidak perlu menginap di penjara.

Pembebasan di atas bukan karena Nurdin Halid tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti yang didakwakan oleh jaksa, tetapi karena jaksa menggunakan berkas perkara yang sebelumnya digunakan oleh adik Nurdin Halid, Waris Halid. Konon, 19 dari 25 saksi yang diajukan oleh jaksa dalam perkara ini tidak pernah diperiksa untuk kasus Nurdin Halid dan menolak BAP (Berita Acara Pemeriksaan).

Jadi boleh dikatakan, terutama pada kasus terakhir ini, Nurdin Halid “kabarra-bara“ karena keteledoran jaksa. Mengapa jaksa penuntut menggunakan BAP Waris Halid? Lalu mengapa jaksa mau menerima berkas tersebut dari polisi? Mengapa hakim baru sadar bahwa surat dakwaan cacat dan tidak dapat diterima setelah pengadilan berlangsung berbulan-bulan?

Tentu hanya polisi, jaksa dan hakim yang dapat menjawab pertanyaan di atas? Yang pasti, untuk kesekian kalinya, Nurdin bebas lagi dari lubang jarum. Apakah dia memang “kabarra-barra?“ Atau sistem dan para petugas penegak hukum kita yang kebetulan sontoloyo?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar