Sabtu, 24 September 2011

Portofolio Investasi ST. Agnes


     Joan Morrissey, Kepala Sekolah St. Agnes di Arlington, Massachusetts, AS pada awal tahun 1990-an, boleh jadi seorang kapitalis berkadar 99,99%. Ia sangat percaya bahwa pasar modal, asal tahu dengan tepat  memanfaatkannya, merupakan sarana yang paling demokratis untuk melipatgandakan kekayaan. Itu sebabnya siswa St. Agnes harus diajari “berpasar-modal” sejak dini.
    Untuk mengajari siswanya, Morrissey tidak memerlukan modal yang besar, kecuali beberapa buah pizza. Ia juga tidak membebani para siswanya dengan hapalan tentang pasar modal dan berbagai istilah teknis perusahaan lainnya. Setiap tahun, Morrissey membagi murid-murid kelas tujuh di sekolahnya menjadi beberapa kelompok yang terdiri atas empat siswa per kelompok. Para siswa berhak menetapkan nama kelompoknya. Maka muncullah nama-nama seperti ini: Rags to Riches, The Wizard of Wall Street, Wall Street Women,  The Money Machine, Stocks R Us, hingga Lynch Mob. 
    Setiap kelompok dimodali “uang-uangan” US$ 250.000. Setelah itu, masing-masing kelompok ditugaskan membaca koran keuangan Investor’s Business Daily  – koran ini didirikan oleh William J. O'Neil, salah seorang legenda di Wall Street yang memperkenalkan  formula CANSLIM dalam pemilihan saham. Dari koran itulah setiap kelompok membuat daftar perusahaan publik yang dinilai menarik. Mereka lalu meriset masing-masing perusahaan untuk melihat bagaimana perkembangan penjualan dan laba bersihnya serta keunggulan tiap-tiap perusahan dibandingkan dengan yang lainnya. Berdasarkan hasil riset itulah setiap kelompok membentuk portofolio investasi dengan membeli saham perusahaan tersebut dengan "uang-uangan" tadi.
     Morrissey membuat aturan bahwa setiap portofolio minimal berisi 10 perusahaan dengan satu atau dua perusahaan yang terbukti membayarkan dividen lebih besar pada tahun-tahun sebelumnya. Aturan berikutnya, sebelum menempatkan satu perusahaan di dalam portofolionya, setiap kelompok harus memaparkan di hadapan teman-teman dan gurunya tentang apa dan siapa perusahaan tersebut. Jika mereka tidak mampu menjelaskan, misalnya, jasa atau produk perusahaan yang bersangkutan maka mereka tidak diperkenankan "membelinya." Soalnya, kata Morrissey, seperti dikutip oleh Peter Lynch dalam bukunya, Beating the Street, tema utama kegiatan "pengelolaan portofolio" di St. Agnes adalah "beli apa yang kamu tahu."
    Jangan heran jika ada di antara pilihan para "fund manager" ST. Agnes adalah perusahaan yang tidak pernah dilirik oleh para fund manager profesional di Wall Street. Contohnya, Pentech International, produsen pena berwarna. Salah satu produk Pentech yang sangat populer di kalangan siswa, termasuk siswa St. Agnes adalah pena berujung dua: di ujung pertama adalah penanda (marker) dan ujung lainnya untuk meng-highlight. Beberapa di antara kelompok itu menggunakan produk Pentech untuk menandai saham-saham pilihannya.
     Lalu beberapa kelompok meriset Pentech yang ketika itu sahamnya diperdagangkan US$ 5 per unit. Hasilnya, Pentech adalah sebuah perusahaan yang tidak punya beban utang jangka panjang. Selain itu, menurut para siswa St. Agnes, kualitas produk Pentech tergolong super. Karena sangat populer di kalangan siswa St. Agnes, mereka yakin bahwa produk ini akan diterima secara nasional di AS. Tidak kalah pentingnya, Pentech belum sepopuler Gillette, yang antara lain memproduksi pena Paper Mate dan pisau cukur Good News. Tidak lama setelah siswa-siswa St. Agnes "menemukan" saham tersebut, kurs Pentech meningkat menjadi US$ 9,5 per saham.
     Saham pilihan siswa-siswa St. Agnes lainnya adalah Walt Disney Company, produsen sepatu karet Nike dan L.A. Gear, produsen pakaian anak-anak The Gap, produsen minuman ringan PepsiCo, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, produsen kudapan Prito Lay dan produsen kartu baseball Topps. Khusus untuk yang terakhir, menurut Morrissey, para siswa beralasan, "Setiap siswa membeli kartu baseball buatan Topps dan Topps adalah satu-satunya perusahaan yang menghasilkan produk yang benar-benar terbeli oleh para siswa. Lagipula, setiap kami membeli kartu Topps berarti kami ikut menyumbang untuk pemingkatan penjualan perusahaan tersebut."  
     Peter Lynch, mantan pegelola Fidelity Fund dan juga seorang legenda stock picker di Wall Street mengemukakan, prosedur dan prinsip pemilihan saham yang dilakukan oleh siswa-siswa St. Agnes juga diterapkan oleh para fund manager profesional.  Tetapi banyak juga yang tidak peduli lagi pada prinsip dan prosedur seperti itu dalam pemilihan saham. "Beli apa yang kamu tahu adalah strategi canggih  yang telah dilupakan banyak fund manager," tulis Peter Lynch.
     Boleh jadi karena punya prinsip dan prsedur, pada periode 1990-1991, menurut Peter, nilai portofolio St. Agnes naik 70%, mengalahkan indeks S&P 500 yang hanya meningkat 26% pada periode yang sama. Pada periode itu pula St. Agnes mengalahkan 99% reksa dana saham yang pengelolanya dibayar mahal karena keahliannya dalam pemilihan saham.
     Moral cerita di atas, menurut Peter Lynch, Anda tidak perlu ahli di bidang keuangan atau punya gelar MBA dari universitas ternama -- untuk kasus ini Peter menyebut Wharton -- untuk mumpuni dalam hal pemilihan saham perusahaan publik. Buktinya, itu dapat dilakukan oleh siswa-siswa grade 7 di sekolah St. Agnes yang bahkan belum punya surat izin mengemudi (SIM). Hal yang paling penting adalah Anda harus memiliki prinsip investasi dan prosedur pemilihan saham untuk menerapkan prinsip tersebut. Lalu, jalani prinsip dan prosedur itu dengan konsisten. Sederhana, tetapi tentu saja tidak sederhana dalam praktek, apalagi kalau Anda mempertaruhkan uang benaran yang boleh jadi diperoleh dari pesangon PHK di sebuah perusahaan.
     Selain itu, kata Peter, para fund manager profesional sering diprofilkan secara berlebih-lebihan seperti layaknya para selebriti di media hiburan. Ini yang membuat para stock picker amatir minder sehingga pada akhirnya lebih mempercayakan duitnya kepada fund manager reksa dana atau memilih menjadi trader di bursa saham yang kadang-kadang tidak memerlukan pengetahuan fundamental tentang perusahaan yang hendak dibeli sahamnya, tetapi lebih memperhatikan apa kata Gubernur Bank Sentral atau pengamat ekonomi. Pasar modal memang membutuhkan trader, tetapi jika isi pasar modal sebagian besar adalah trader, maka ia sesungguhnya telah berubah menjadi kasino.**

PS: Artikel ini pernah dimuat di Majalah SWA 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar