Kamis, 15 Maret 2001

Mimpi Rupiah Stabil

Menurut Pejabat Sementara Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI), Anwar Nasution, kalau saat ini tuntutan agar Gus Dur mengundurkan diri dipenuhi, maka belum tentu kestabilan nilai rupiah akan tercapai (detikcom, Senin, 19/3/2001). Ini bukan pernyataan baru memang dan itu juga bukan pertamakalinya Anwar – yang entah berapa lama lagi dia harus menjadi pejabat sementara di BI setelah menyatakan diri mengundurkan diri – berbicara seperti itu. Lalu, untuk apa report-repot meminta Gus Dur mundur dari jabatan presiden? Begitu mungkin pesan tersirat Anwar dalam pernyataan tersebut.

Gus Dur mundur dan stabilisasi nilai tukar rupiah adalah dua hal berbeda. Bagi pihak-pihak yang menginginkan Gus Dur mundur, boleh jadi stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing tidak pernah menjadi agendanya. Tujuannya, Gus Dur mundur, habis perkara. Bahwa setelah itu rupiah menguat atau melemah, itu urusan pihak lain, Bank Indonesia misalnya.

Dapatkah rupiah stabil? Namun, sebelum menjawab pertanyaan itu, kita harus sepakat dahulu, apa yang kita maksud stabil? Apakah pemahaman kita tentang nilai tukar stabil seperti sebelum rupiah diambangkan oleh Pemerintah pada 1998? Rupanya, jawabannya iya. Padahal, setelah diambangkan, seharusnya semua paradigma berubah pula. Pemerintah – dalam hal ini Bank Indonesia -- tidak lagi mengontrol nilai tukar rupiah. Walau kadang-kadang mengintervensi pasar, Bank Indonesia tidak lagi menjadi penentu hitam putih nilai tukar. Sayangnya, perubahan itu tidak diiringi perubahan sikap kita. Kita secara diam-diam menyukuri pengambangan nilai tukar tersebut jika meraup keuntungan dari menjual dollar, tetapi memaki-maki dan menyalahkan semua pihak jika kebetulan merugi karena rupiah melemah.

Lebih parah lagi sikap seperti itu tidak hanya dalam soal nilai tukar rupiah, tetapi hampir terjadi dalam seluruh segi kehidupan kita sebagai bangsa. Makin lebih parah lagi karena itu dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi panutan, seperti Amin Rais, Akbar Tanjung dan kalangan tokoh lainnya yang secara salah kaprah disebut sebagai elit politik.

Sekarang ini, kita semua seolah-olah asyik-masyuk bermain api, namun begitu ada kebakaran yang disalahkan Pemerintah karena tidak sigap memadamkan api. Mengapa? Katanya, atas nama demokrasi. Kita berteriak-teriak mengeritik dan menghujat, karena atas nama demokrasi kita merasa berhak melakukan itu. Namun kita lupa, bahwa sisi lain dari hak itu adalah kewajiban. Jika kita punya hak berdemokrasi, maka kita punya kewajiban demokrasi pula.

Percayalah, persoalan tidak akan selesai hanya dengan menurunkan Gus Dur yang sedang berkuasa atau siapapun yang kita sepakati untuk memimpin kita kelak, jika kita tidak pernah berlapang dada menerima kehadiran pemimpin tersebut. Seorang presiden tidak mungkin memuaskan semua rakyat Indonesia. Jika pihak yang tidak puas itu merasa berhak menurunkan presiden setiap kali ia tidak puas, maka berapapun presiden yang kita turunkan tidak akan menyelesaikan persoalan kita yang kian hari kian tidak jelas ujung pangkalnya sekarang ini, saking banyaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar