Selasa, 13 Desember 2005

Spion Melayu

Istilah di atas pertama kali saya dengar ketika sebagai mahasiswa yunior sering ikut-ikutan acara diskusi yang diselenggarakan oleh kelompok mahasiswa senior di kampus pada awal 1980-an. Pada waktu itu organisasi Menwa (Resimen Mahasiswa) masih berjaya. Salah seorang di antara anggota Menwa itu dijuluki spion Melayu. Kebetulan dia pernah dikirim ke Timor-Timur, entah apa tugasnya di sana. Akan tetapi di kalangan kampus dia dikenal sebagai spion alias intel. Benar tidaknya wallahu walam, saya tidak pernah menanyakan kepadanya. Kebetulan dia lebih senior dari saya.

Hal yang saya ingat, ia bangga dengan gelar spion Melayu itu. Rambutnya selalu dicukur ala Kevin Costner dalam film Body Guard. Dia juga suka mengenakan jaket tebal berwarna hijau yang ketika itu dikenal sebagai jaket Korea, sekalipun mentari sedang bersinar terik.

Mengapa disebut spion Melayu? Menurut senior saya waktu itu yang sekarang telah menjadi anggota DPR-RI, spion Melayu berbeda dengan intel barat, misalnya spion CIA dari Amerika Serikat atau anggota M-16 dari Inggris. Intel Melayu sekalipun tugasnya bersifat rahasia, selalu menunjukkan „sesuatu“ yang memungkinkannya dengan mudah dikenali sebagai spion. Misalnya, seperti teman yang digelari spion Melayu tadi, dengan bercukur pendek ala militer. Bisa juga dengan mengenakan baju kaos ketat sehingga gagang pistolnya menonjol di pinggangnya. Bahkan, kata teman itu, intel Melayu kadang-kadang dengan sengaja menyenggolkan gagang pistolnya kepada orang-orang di sekitarnya supaya dikenali.

Ini berbeda sekali dengan intel di negeri George Walker Bush, Amerika Serikat. Mereka – paling tidak seperti sering kita saksikan di film-film Hollywood – bekerja dengan kerahasiaan tinggi. Saking rahasianya, kadang-kadang istri dan anaknya tidak tahu. Mereka menyamar sebagai wartawan, pedagang, pengusaha hingga diplomat. Di negara itu, menyingkapkan identitas seorang intel dianggap sebagai sebagai sebuah kejahatan serius dan harus berakhir di pengadilan.

Cerita tentang intel Melayu ini tiba-tiba saya ingat kembali setelah membaca beberapa koran edisi Selasa, 29 November 2005. Republika, misalnya, menyajikan head line: „BIN akan Susupi Islam Radikal.“ Media Indonesia: “Kacaukan Kelompok Radikal BIN Lakukan Penetrasi.” Isinya tentang rencana Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Syamsir Siregar untuk mematai-matai kelompok-kelompok yang disebutnya Islam radikal dengan menyusupkan orangnya (baca: spionnya) ke dalam kelompok tersebut. Tujuannya, menciptakan konflik internal di dalam kelompok tersebut (Media Indonesia, 29 November 2005).

Terus terang, saya awam dalam soal perintelan. Jika “menyusupkan” spion ke dalam suatu organisasi efektif untuk menangkal terorisme mengapa BIN tidak melakukan hal itu dari dulu. Boleh jadi tidak akan banyak bom “meleduk” di Bali dan Jakarta kalau spion BIN sudah menyusup ke “organisasi” teroris itu. Mungkin juga jika ini dilakukan, tidak perlu ada siswi sekolah menengah yang dipenggal kepalanya di Poso, Sulawesi Tengah.

Tampaknya Kepala BIN, seperti sering dilakukan oleh pejabat negara kita lainnya, hanya berwacana. Ia hanya sekadar untuk memancing kontroversi dan tanggapan balik atas wacana tersebut. Jika tujuannya hanya itu, maka boleh dikatakan sudah berhasil. Paling tidak, seperti dapat dibaca di detikcom dan di berbagai media lainnya, komentar balik sudah berseliweran.

Selain itu, jika menyusup ini memang langkah intel yang jitu, mengapa Kepala BIN mesti mengumumkan metode dan targetnya. Atau jangan-jangan itu mengukuhkan cerita teman saya di awal tulisan ini, kita memang hanya spion Melayu.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar