Polres Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah mencium aroma korupsi pembelian kapal nelayan di Kabupaten Kupang pada 2003. Pelakunya, menurut polisi, Nico Leka, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kupang. Ia diduga menggelembungkan harga kapal nelayan yang dibeli dengan dana APBD sehingga merugikan negara sekitar Rp 239 juta.
Akan tetapi hingga memasuki tahun 2005, orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus korupsi ini belum diadili. Perkaranya bahkan belum dilimpahkan ke kejaksaan. Polres Kupang masih berkutat memeriksa pihak-pihak yang terkait dengan kasus tersebut. Bupati Kupang, Ibrahim Agustinus Medah dan Christian Nehemia Dillak, ketika itu sebagai Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan dan sekarang menjadi Bupati Rote baru dapat diperiksa sebagai saksi pada 13 Januari 2005.
Mengapa kasus ini berlarut-larut? Ternyata, seperti dilaporkan Kompas, polisi baru mengantongi izin dari Presiden RI untuk memeriksa para saksi yang bupati itu pada awal tahun ini (Kompas, 14 Januari 2004).
Sehari sebelumnya, Kompas juga melaporkan kasus korupsi di Bali yang melibatkan tak kurang dari 20 tersangka dengan nilai Rp 184,970 miliar. Sepekan setelah Kejaksaan Tinggi Bali mengumumkan inisial nama para tersangka, belum seorang pun di antara mereka yang diperiksa oleh tim penyidik. Mengapa?
Menurut Kepala Kejati Bali, Barman Zahir, sejumlah tersangka masih aktif sebagai angggota DPRD Tingkat I Bali dan DPRD di beberapa daerah tingkat dua di Bali. Untuk memeriksa “para anggota DPRD terhormat” itu, jaksa harus mengantongi izin dari Menteri Dalam Negeri.
Rupanya, hingga Kompas memberitakan kasus ini, izin yang dimaksud belum diperoleh. Untuk mendapatkan izin dari Menteri Dalam Negeri, Kejati Bali tak boleh langsung berkirim surat ke Mendagri, tetapi harus melalui Kejaksaan Agung di Jakarta. Jadi, butuh waktu beberapa minggu untuk mendapatkan surat yang dimaksud.
Kasus lain dari Menado, Sulawesi Utara. Sejak akhir 2002 Kejati Sulawesi Utara mengusut kasus penggelembungan (mark-up) perlalihan hutang Manado Beach Hotel (MBH) senilai Rp 11,3 miliar. Akan tetapi hingga kini kasus yang dikenal dengan “MBH Gate” belum juga dilimpahkan ke pengadilan. Alasannya, seperti dikemukakan oleh Robert Ilat, juru bicara Kejati Sulawesi Utara, jaksa menunggu lama untuk mendapatkan keterangan saksi kunci, yaitu Gubernur Sulawesi Utara, AJ Sondakh. Gubernur baru dapat diperiksa kejaksaan awal Desember 2004 setelah surat izin pemeriksaan dari presiden turun (Kompas, 11 Januari 2005).
Daftar kasus korupsi yang terkatung-katung penyelesaiannya masih dapat diperpanjang. Apalagi setelah korupsi massal yang dilakukan oleh para anggota dan mantan anggota DPRD di berbagai kota di Indonesia. Intinya, izin pemeriksaan, dari Presiden maupun dari atasan pejabat yang hendak yang diperiksa, telah menjadi salah satu faktor yang memperlambat penuntasan kasus-kasus korupsi di Indonesia.
**
Izin Presiden atau dari pejabat lainnya untuk memeriksa pejabat negara yang disangka terlibat korupsi merupakan warisan Pemerintahan Orde Baru, lebih tepat lagi warisan Soeharto. Ketika berbagai peraturan dirombak, seiring dengan era reformasi, “aturan” tentang izin presiden ini tetap dipertahankan. Ia diteruskan dan dijalankan oleh Presiden B.J. Habibie, Abdurahman Wahis (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri hingga Presiden RI yang sekarang, Soesilo Bambang Yudhoyono.
Kita juga tidak pernah mendengar ada anggota DPR-RI menggugat peraturan ini secara resmi. Boleh jadi karena mereka – para anggota DPR itu – secara tidak langsung diuntungkan oleh aturan ini. Artinya, jika ada anggota DPR berbuat sesuatu yang melanggar hukum – misalnya menggunakan anggaran negara secara sah tetapi tidak benar – mereka tidak akan langsung diperiksa. Mereka bisa “membeli waktu” dengan berdalih Presiden belum mengizinkan dirinya diperiksa dan pada saat yang sama berusaha melobi agar Prsiden mengulur waktu penerbitan surat izin tersebut.
Berbagai dugaan korupsi pejabat negara pada era Soeharto batal atau terkatung-katung penyelesaiannya karena izin presiden tidak juga terbit. Akibatnya, pada masa itu, hanya pejabat-pejabat rendahan yang bisa diadili karena perkara korupsi. Pejabat tinggi dengan magnitude korupsi yang boleh jadi lebih besar tidak ada yang berhasil dijerat.
Hal di atas berlangsung hingga era Megawati Soekarno Putri. Izin pemeriksaan tertinggi yang diterbitkannya adalah untuk Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh, untuk kasus dugaan korupsi pembeli helikopter. Akan tetapi untuk kasus pembelian genset yang ditangani oleh Markas Besar Kepolisian RI yang juga melibatkan Abdullah Puteh hingga kini belum jelas kelanjutannya.
**
Sekarang Pemerintahan baru. Salah satu program utama yang dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah pemberantasan korupsi. Untuk ini, SBY bahkan menjanjikan untuk turun tangan langsung memimpin upaya-upaya pemberantasan korupsi, terutama yang kelas kakap.
Pada 9 Desember 2004, Presiden SBY telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres ini diterbitkan bersamaan dengan pencanangan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi dan peringatan Hari Pemberantasan Korupsi Sedunia di Istana Negara.
Akan tetapi soal izin pemeriksaan dari Presiden tidak berubah. Pada hari penerbitan Inpres itu, Presiden SBY juga menandatangani surat persetujuan pemeriksaan 14 penyelenggara negara yang terdiri dari dua gubernur, enam anggota MPR/DPR, empat bupati, dan dua wali kota.
Nah, jika Presiden SBY benar-benar sangat serius memberantas korupsi, seharusnya itu bisa dimulai dengan mencabut peraturan yang mengharuskan pejabat negara yang diduga melanggar korupsi harus mendapatkan surat izin pemeriksaan dari Presiden atau pejabat lainnya jika hendak diperiksa oleh polisi, jaksa maupun KPK. Peraturan ini sudah terbukti memperlambat upaya percepatan pemberantasan korupsi selama ini. Selain itu, peraturan ini diskriminatif dan bertentangan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia yang telah disepakati sebagai pokok dan rujukan tertinggi berbagai peraturan di Indonesia.
Pada Pasal 27 ayat 1 UUD kita dengan jelas disebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Para pejabat negara seperti gubernur, bupati dan anggota DPR, masih warga negara juga kan? Atau mereka langsung menjadi “alien” begitu menjadi pejabat negara?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar