Minggu, 16 April 2006

Andai Telkom seperti Temasek


Seorang teman yang terkenal iseng dan suka membanding-bandingkan sesuatu mengajukan pertanyaan, “Apa persamaan Telkom dengan Temasek?”

Belum sempat saya jawab, dia mendahului: keduanya sama-sama BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Telkom (maksudnya PT Telekomunikasi Indonesia Tbk) milik Indonesia, sementara Temasek Holdings Pte. Ltd. milik Singapura.

“Hanya itu?” tanyaku.

“Memang masih ada persamaan yang lain?”

“Ada,” jawabku, “Keduanya sama-sama sibuk.”

Teman saya terdiam. Dari kernyit keningnya saya menangkap kesan, dia merasa terjebak sendiri oleh teka-tekinya.

Temasek adalah perusahaan induk BUMN Singapura. Kesibukan Temasek beberapa tahun belakangan ini adalah membeli berbagai perusahaan di luar negeri. Di Indonesia, misalnya, Temasek – baik langsung maupun melalui anak perusahannya – menguasai Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia. Lalu, seperti ditulis detik Finance, Temasek akan menginvestasikan US$ 2 miliar di Bank of China tahun ini.

Bukan hanya itu, Temasek juga mendorong anak-anak usahanya untuk berkembang di luar Singapura. Ini mungkin karena teritori Singapura memang terbatas.

Singapore Telecommunications Limited atau SingTel adalah salah satu anak usaha Temasek. Padanan SingTel di Indonesia adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). Seperti induknya, SingTel juga sangat sibuk berbisnis di luar Singapura. Itu strategi pertumbuhan BUMN yang pada tahun buku berakhir Maret 2005 meraih laba bersih S$ 3,268 miliar (sekitar Rp 20 triliun) dari pendapatan sebesar S$ 12,617 miliar (sekitar Rp 77,3 triliun).

SingTel (juga Temasek) menyadari mustahil tumbuh jika hanya mengandalkan pasar dalam negerinya. Itu sebabnya mereka menyibukkan diri membangun bisnis di luar Singapura. Pada 2001, misalnya, SingTel mengakuisisi kepemilikan mayoritas di Optus, perusahaan penyedia layananan telekomunikasi seluler terintegrasi di Australia seharga A$ 14 miliar.

SingTel juga menyertakan saham di berbagai perusahaan telekomunikasi di sekitar 20 negara. Di Thailand, SingTel menguasai 21,4% saham Advanced Info Service (AIS). SingTel juga menyertakan investasi di APT Satelite Hong Kong (20,3%), Bharti Group India (30,7%), Globe Telecom Filipina (44,6%), New Century Infocomm Taiwan (24,5%), Pacific Bangladesh Telecom Banladesh (45%) dan Telkomsel Indonesia (35%).

Pada tahun buku yang berakhir Maret 2005, 67,9% dari pendapatan SingTel berasal dari operasi luar negeri. Dari investasi di perusahaan telekomunikasi di berbagai negara, SingTel memperoleh tambahan keuntungan sebesar S$1,26 miliar, itu sekitar 30,74% dari laba sebelum pajak dan bunga yang mencapai S$ 4,1 miliar.

“Lalu, apa kesibukan Telkom?” teman saya ternyata masih menyimak.

“Oh banyak,” kataku. Salah satunya, Telkom akan sibuk membeli kembali saham-sahamnya yang kini berada di tangan investor publik, baik domestik maupun asing. Pemegang saham Telkom menyetujui usulan direksi membeli kembali (buy back) 5% saham setor yang kini mencapai 20,16 miliar unit. Untuk itu disiapkan dana sebesar Rp 5,25 triliun.

Alasan buy back Telkom, seperti sering dikemukakan Dirut Telkom, Arwin Rasyid, karena rasio antara utang dan modal sendiri Telkom di bawah satu. Padahal umumnya perbankan – ingat Arwin adalah bankir -- menetapkan batasan rasio utang terhadap modal sebesar 2,5 kali. Karena itu, Telkom memiliki potensi yang sangat besar untuk mengurangi modal. Salah satu cara mengurangi modal antara lain melakukan buy back (Seputar Indonesia, 19 Agustus 2005).

Boleh dikatakan cara berpikir Arwin Rasyid sebagai nakhoda Telkom berbeda 360 derajat dengan kebanyakan pengusaha. Jika para pengusaha yang lain menambah utang untuk memperbesar kapasitas usahanya, maka Arwin justru menciutkan modalnya.

Menurut Arwin, di pasar yang sudah jenuh, cara yang paling populer mengurangi modal adalah membagikan dividen. Cara lain, melakukan ekspansi besar-besaran ke luar negeri, terutama untuk perusahaan yang memiliki banyak dana tetapi pasarnya sudah jenuh. Inilah yang dilakukan SingTel. Cara berikutnya, melakukan buy back saham publik.“

Begitulah, jika SingTel sibuk berinvestasi di luar negeri untuk menaikkan nilai perusahannya, maka Telkom sibuk di dalam negeri, bahkan boleh dikatakan sibuk di dalam perusahaanya sendiri dengan buy back saham. Mereka berharap, jika saham beredar dikurangi, harga saham akan meningkat dan itu berarti nilai kapitalisasi pasar (jumlah saham dikali harga saham) Telkom akan menggelembung pula. Pada saat yang sama, laba bersih per saham (laba bersih dibagi jumlah saham setor) akan meningkat karena jumlah pembagi akan berkurang. Sementara untuk peningkatan pendapatan, Telkom akan tetap mengandalkan bisnis yang sudah ada sekarang.

Telkom memang seolah-olah tidak lagi memerlukan dana untuk pengembangan bisnis. Padahal, biaya buy back sebesar Rp 5,25 triliun lumayan besar. Modal setor Telkom saja hanya Rp 5,04 triliun.

Mengapa dana lebih itu tidak digunakan Telkom untuk invetasi baru, misalnya membeli dan membangun perusahaan telekomunikasi di Vietnam atau di Timor Leste? Ah sudahlah, Telkom memang bukan Temasek kok?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar