Minggu, 16 April 2006

Mengapa Bank Harus Diminta Danai Infrastruktur?


“Hari gini masih ada instruksi kepada bank-bank BUMN untuk memberikan kredit untuk proyek infrastruktur.” Itu komentar seorang teman atas berita penunjukan sejumlah bank BUMN untuk mendanai proyek infrastruktur. Ia khawatir cara-cara seperti ini – sebagus apapun tujunnya – dapat merusak sistem perbankan secara keseluruhan, seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu.

Kita tidak tahu proses rapat koordinasi terbatas (rakortas) bidang infrastruktur di Kantor Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla pada 6 April 2006. Hal yang kita tahu kemudian adalah tiga bank BUMN – Bank BNI, Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia – ditunjuk menjadi pemimpin konsorsium pembiayaan proyek pembangunan infrastruktur pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), jalan tol, perkebunan dan tanaman pangan.

Tampaknya Wapres M Jusuf Kalla gerah. Tidak biasanya rakortas berlangsung di kantornya. Selama ini rapat serupa diselenggarakan di kantor Menko Perekonomian Boediono, di Gedung Depkeu, Lapangan Banteng, Jakarta.

Pembangunan infrastruktur memang tidak berjalan mulus seperti harapan Pemerintah. Sekitar 91 proyek yang ”dijajakan” oleh Pemerintah pada Pertemuan Infrastruktur Indonesia (Indonesia Infrastructure Summit) I pada 17-18 Januari 2005 hingga kini belum jelas nasibnya. Itu sebabnya Pertemuan Infrastruktur Indonesia II yang semula akan diselenggarakan pada Februari 2006 ditunda pelaksanaannya.

Ke-91 proyek itu terdiri atas enam proyek pipa gas, 12 proyek pembangkit listrik, satu jalur kereta api, lima proyek bandara, 38 proyek jalan tol, empat proyek pengembangan pelabuhan, satu proyek telekomunikasi, dan 24 proyek air minum. Untuk membangunnya dibutuhkan dana sekitar US$ 22 miliar (Rp 206,8 triliun). Menurut Aburizal Bakrie, Menko Perekonomian pada waktu itu, pembangunan infrastruktur Indonesia pada periode 2005-2099 memerlukan dana Rp 1.303 triliun. Hanya 17% atau Rp 221,51 triliun dari kebutuhan itu dapat dipenuhi Pemerintah melalui APBN, sementara 83% lebihnya atau Rp 1081,49 triliun diharapkan dari sektor swasta.

Infrastruktur memang butuh biaya besar, bukan hanya untuk membangun yang baru tetapi juga untuk merawat yang telah dibangun. Untuk hal yang terakhir inipun Pemerintah keteteran. Setiap hari dapat kita dengar keluhan pendengar radio tentang jalanan yang rusak dan menyebabkan kemacetan. Sebuah pabrik ditutup karena jalan ke arah pabrik tersebut rusak dan selalu macet sehingga menyebabkan biaya tinggi dan kerugian terhadap pemilik pabrik itu. Kita tahu bagaimana harga barang kebutuhan pokok di berbagai kota di Sumatera melonjak karena jalan lintasnya rusak parah. Infrastruktur amburadul memicu peningkatan biaya distribusi dan transportasi. Wajar jika seorang gubernur BI mengemukakan, inflasi bisa tidak terkendali jika insfrastruktur tidak dibenahi.

Dalam konteks di atas dapat dipahami jika Pemerintah, dalam hal ini Wapres M Jusuf Kalla, akhirnya menunjuk tiga bank BUMN menjadi koordinator konsorsium pembiayaan proyek infrastruktur. Masalahnya, mengapa bank harus lebih dulu ditunjuk agar mau melibatkan diri dalam pembangunan infrastruktur? Apakah proyek infrastruktur memang tidak menarik dari segi bisnis? Apakah para bankir tidak dapat mencium “aroma” keuntungan dari sebuah proyek infrastruktur? Andai tidak ditunjuk, apakah bank-bank tersebut tetap mau terlibat?

Infrastruktur memang butuh biaya besar. Untuk membangun jalan tol Surabaya-Mojokerto sepanjang 30 kilometer, misalnya, diperlukan dana Rp 2,2 trliun. Itu berarti sekitar Rp 75 juta per meter. Selain membutuhkan dana besar, pengembalian proyek-proyek infrastruktur juga berjangka panjang. Boleh jadi, itu sebabnya tidak banyak bank tidak tertarik membiayai proyek infrastruktur. Bank tidak mungkin mengandalkan dana pihak ke-3 dalam bentuk deposito untuk mendanai proyek seperti itu.

Kini, tiga bank BUMN – BNI, Mandiri dan BRI – ”terpaksa” ikut karena ditunjuk oleh Pemerintah. Menurut Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI), Sigit Pramono, banyak kendala yang menghambat bank ikut proyek infrastruktur. Pertama, aturan BMPK (batas maksimum pemberian kredit). Kedua, mereka belum sepenuhnya bebas dari hantu kredit macet. Pada 2005, dari ketiga bank pemimpin konsorsium pendanaan infrastruktur itu, hanya BRI yang labanya meningkat. Laba Bank Mandiri anjlok drastis 88,52%, dari Rp 5,26 triliun pada 2004 menjadi Rp 603,37 miliar pada 2005. Sementara laba Bank BNI pada periode yang sama turun 54,21%, dari Rp 3,090 triliun menjadi Rp 1,415 triliun.

Bagaimana jika keterlibatan dalam proyek infrastruktur itu berdampak buruk bagi ketiga bank BUMN tersebut? Menurut Sigit, pemerintah akan memberikan kelonggaran bagi perbankan yang ikut dalam konsorsium pembiayaan infrastruktur. Bagaimana bentuknya, belum ditentukan. Kita hanya berharap semoga ”kelonggaran” yang dimaksud tidak berarti ”memberi diskon” atas berbagai aturan yang berlaku selama ini. Sebab, jika itu terjadi, maka kekhawatiran teman yang komentarnya saya kutip di awal tulisan ini, akan benar-benar terbukti.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar