Minggu, 16 April 2006

Blok Cepu


Pemerintah itu ruwet. Manifestasinya, antara lain, pengelolaan lapangan minyak Blok Cepu. Bayangkan, perundingan perpanjangan kontrak pengelolaan lapangan minyak itu dimulai oleh pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri hingga Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sekarang ini. Hasilnya? Hingga sekarang belum jelas siapa pengelola ladang minyak yang konon bisa menghasilkan 180.000 barrel per hari itu.

Jika melihat potensi di atas sebenarnya wajar jika perundingan berjalan alot. Sebab, 180 ribu barrel per hari berarti 65,7 juta barrel setahun. Dengan harga jual US$ 50 per barrel saja, Blok Cepu dapat menghasilkan US$ 3,285 miliar atau sekitar Rp 31 triliun setahun. Itu sekitar seperempat (25%) dari total pendapatan PT Pertamina (Persero) sekarang ini. Perundingan berjalan alot karena semua yang terlibat ingin menjadi pihak mendapatkan porsi terbesar dari jumlah tersebut.

Sebenarnya, pada 25 Juni 2005 Pemerintah Republik Indonesia – mewakili rakyat Indonesia sebagai pemilik ladang minyak tersebut – telah mencapai kata sepakat dengan ExxonMobil, pengelola ladang minyak tersebut hingga 2010. Kesepakatan itu dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MOU) yang ditandatangani oleh Martiono Hadianto, wakil Pemerintah Indonesia dan Sthephen M Greenle dari Exxon Mobil.

MOU itu menyebutkan bahwa pengelolaan Blok Cepu akan dilakukan secara bersama-sama (joint company) antara Pertamina dan ExxonMobil. Juga disepakati tentang penyertaan modal (participating interest) yaitu masing-masing 45% oleh Pertamina dan ExxonMobil dan 10% oleh konsorsium perusahaan daerah (BUMD). Pembagian hasilnya sudah ditetapkan secara rinci. Pertamina dan ExxonMobil diberi waktu 90 hari setelah MOU itu untuk menandatangani perjanjian operasional.

Akan tetapi, hingga kini, Pertamina dan ExxonMobil belum juga bersepakat soal bagaimana mengelola Blok Cepu. Mereka “adu urat” soal joint company tersebut. Keduanya berkeras untuk memimpin dan mengelolanya. Sempat terlontar usulan “memimpin” secara bergiliran setiap lima tahun, tetapi ditolak oleh Pemerintah. Akhirnya, sekitar November 2005, Direktur Utama Pertamina, Widya Purnama mengemukakan, perundingan Pertamina dengan ExxonMobil sudah buntu. Ia mengumumkan akan mengambil tindakan sepihak, mulai mengebor sumur minyak di Cepu pada Februari 2006. Kita tunggu saja apakah rencana sepihak itu diwujudkan atau sekadar gertak sambal.

Sebenarnya, sumber kekisruhan pengelolaan Blok Cepu pada periode 2010-2030 itu berawal dari ketidakjelasan sikap Pemerintah sebagai pemilik – sekali lagi mewakili Rakyat Indonesia – lapangan minyak tersebut. Pemerintah tampaknya, ingin menyenangkan semua pihak, dalam hal ini ExxonMobil dan rakyat Indonesia yang dalam “konflik” ini diwakili oleh Pertamina.
Hak ExxonMobil untuk mengelola lapangan tersebut sebenarnya akan berakhir pada 2010. Jika tidak diperpanjang maka seharusnya hak pengelolaan itu kembali ke Pertamina. Kebetulan wilayah itu merupakan wilayah kerja Pertamina yang pada zaman Orde Baru diambil-alih oleh Tommy Soeharto yang kemudian mengalihkannya ke ExxonMobil.
Karena potensinya besar, wajar jika ExxonMobil mengerahkan segala daya untuk bertahan di Blok Cepu. Konon, seperti dikemukakan oleh Kwik Kian Gie, Menko Perekonomian pada era Presiden Abdurrahman Wahid, agar tidak tergusur dari sana, ExxonMobil “mengerahkan” Pemerintah AS untuk melobi Pemerintah Indonesia.

Sebenarnya keputusan Pemerintahan SBY untuk tidak menyerahkan 100% pengelolaan Blok Cepu sudah tepat. Masalahnya, Pemerintah menyerahkan rincian joint company itu kepada Pertamina dan ExxonMobil. Padahal, sejak awal, sikap keduanya jelas: mereka ingin meniadakan satu sama lain. Pertamina ingin diberi hak mengelola Blok Cepu 100%, ExxonMobil pun bersikap demikian.

Widya Purnama berulang kali mengatakan, ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi ExxonMobil agar bisa bersama-sama mengelola Blok Cepu. Pertama, Pertamina harus untung. Kedua, negara harus diuntungkan dari bagi hasil dan pajak. Ketiga, ExxonMobil juga harus mendapatkan keuntungan. Untung, menurut Pertamina, ExxonMobil hanya mengelola Lapangan Banyu Urip. Lalu, partisipasi Pertamina 70%, sedangkan ExxonMobil 30%.
Selanjutnya, Pertamina menuntut porsi bagi hasil 60% untuk pemerintah dan sisanya 40% harus dibagi antara Pertamina sebesar 85% dan untuk ExxonMobil 15%. Pertamina juga menuntut hak penjualan minyak berada di tangan Pertamina agar memberikan jaminan keamanan suplai bahan bakar di Indonesia. Hal yang muskil adalah Pertamina menuntut ExxonMobil membayar semua biaya invstasi sebesar US$ 1,6 miliar.

Tentu saja ExxonMobil menolak persyaratan yang sebagian diantaranya memang tidak masuk akal. Misalnya, ingin hasil yang terbesar tanpa pengeluaran (investasi) sepeser pun. Seperti dikemukakan oleh Vice President Planning/Commercial and Public Affairs ExxonMobil, Maman Budiman, masalah operatorship tidak pernah lagi dibicarakan oleh kedua pihak sejak tidak ada titik temu. Ia menegaskan, hanya akan menerima keberadaan badan usaha baru (joint company) yang akan mengelola Blok Cepu jika berada di bawah ExxonMobil. ”Nama perusahaan boleh apa saja, asal itu ada di bawah ExxonMobil,” katanya.

Jadi, berbeda dengan pernyataan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, masalah Pertamina dan ExxonMobil di Blok Cepu tidak sekedar siapa yang akan menjadi General Manager (Sindo, 25 Februari 2006). Tetapi itu bersumber dari sikap saling meniadakan di antara kedua pihak.

Untuk itu sebenarnya, Pemerintah bisa menyederhanakan persoalan sehingga Blok Cepu bisa segera dioperasikan dan mulai mengalirkan minyak bumi. Pemerintah harus ”memaksa” Pertamina dan ExxonMobil menyetujui pembentukan perusahaan patungan (joint venture) – bukan joint company – untuk menjadi operator Blok Cepu. Sahamnya, 45% dikuasai Pertamina, 45% dikuasai ExxonMobil dan 10% dimiliki konsorsium BUMD (Badan Usaha Milik Daerah).

Ketiga pihak di atas harus menanggung biaya investasi sesuai porsi kepemilikan saham di perusahaan patungan itu. Jadi, Pertamina jangan mau enak-enakan menerima hasil tetapi tak mau membayar harganya. Siapa yang akan menjadi pengurus perusahaan patungan itu? Serahkan kepada pemegang saham, seperti diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, yaitu yang mendapat dukungan suara terbanyak dari pemegang saham. Hal terpenting adalah bagi hasil antara operator (perusahaan patungan) dengan Pemerintah adalah 40:60 (seperti diusulkan Pertamina). Bagaimana operator membagi 40% itu, ya sesuai dengan kepemilikan sahamnya: 45:45:10.

Bagaimana jika Pertamina atau ExxonMobil menolak? Kalau fokus perhatian Pemerintah untuk kepentingan rakyat Indonesia, maka jawabannya gampang: cari perusahaan lain yang mau menerima pola itu.**

2 komentar: