Kementerian Negara BUMN (Badan Usaha Milik Negara) akan mengganti direksi 40 BUMN. Menurut perhitungan Sekretaris Meneg BUMN, M. Said Didu, jika setiap direksi BUMN terdiri atas lima orang maka diperlukan pengganti sekitar 200 orang. (lihat SINDO, 21 April 2006).
Pergantian direksi BUMN, sekalipun jumlahnya sekaligus banyak, seharusnya merupakan hal biasa. Itu sudah berkali-kali dilakukan. Akan tetapi, tampaknya, hingga kini proses rekrutmen direksi BUMN belum berubah, masih tetap menggunakan pendekatan kekuasaan, lobi serta tidak transparan. Kita tidak pernah tahu, misalnya, kriteria menjadi direktur utama sebuah BUMN. Kita juga sulit mendapatkan informasi mengapa direksi sebuah BUMN diganti, sebab tidak ada alasan yang baku untuk itu.
Pada era Laksamana Sukardi kita sering mendengar alasan penggantian direksi BUMN untuk penyegaran. Padahal, direksi baru kadang menjadi biang kepengapan di sebuah BUMN.
Pada tahun 2005 beberapa direksi BUMN yang akan diganti dilaporkan dulu ke Tim Taspikor (Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Pelaporan ini dilakukan jika direksi yang hendak diganti itu memberikan tanda-tanda ”ketidak-relaan.” Ini, misalnya, dialami oleh J.C.W. Neloe, mantan Dirut Bank Mandiri, mantan Dirut Jamsostek Junaidi AK serta mantan Dirut Telkom, Kristiono. Dua yang disebut pertama benar-benar diperkarakan. Neloe divonis bebas, sementara Junaidi dinyatakan bersalah. Kristiono? Tampaknya, Tim Taspikor sudah melupakan perkaranya. Apalagi ketika hendak diganti pada RUPS 24 Juni 2005, Kristiono tidak menunjukkan “perlawanan” yang berarti.
Pada beberapa kasus, direksi BUMN juga diganti kendati prestasi dan kinerjanya sangat bagus. Ini, misalnya, dialami oleh Rudjito, mantan Dirut Bank BRI. Di tangan Rudjito, kinerja BRI mencorong. Akan tetapi pada RUPS Mei 2005, Kementerian Negara BUMN – sebagai wakil Pemerintah dan pemegang saham terbesar – mengangkat Sofyan Basir menggantikan Rudjito yang “dipromosikan” menjadi Komisaris Utama. Ketika itu sebenarnya banyak pemegang saham independen yang tidak setuju atas penggantian tersebut karena kinerja BRI di tangan Rudjito Cs memang sedang bagus-bagusnya.
Begitulah, pergantian direksi BUMN selalu menarik perhatian, terutama jika menyangkut BUMN besar dan populer. Apalagi jika alasan penggantian itu tidak jelas dan kadang-kadang memang mengagetkan, seperti ketika Sofyan Basir menggantikan Rudjito atau ketika Kristiono digantikan oleh Arwin Rasyid, bankir yang sebelumnya “gagal” dalam pertarungan menjadi orang nomor satu di PT Indosat Tbk. Orang-orang yang sinis ketika itu mengatakan, “Gagal di Indosat kok bisa di Telkom, padahal Telkom lebih besar dari Indosat?”
Sinisme di atas tidak berlebihan jika membaca ”alasan” penetapan Arwin. Seperti dikemukakan oleh Menteri Negara BUMN, Sugiharto, ”Arwin Rasyid diharapkan dapat mendorong Telkom menjadi perusahaan yang memiliki kapitalisasi US$ 33 miliar, dari sekarang US$ 11 miliar. Meski tidak berpengalaman di bidang telekomunikasi, Arwin diharapkan mampu menstabilkan keuangan Telkom sebagai perusahaan terbesar yang terdaftar di pasar modal Indonesia.”
Kita tidak tahu apakah Sugiharto memahami ”target” di atas atau tidak. Nilai kapitalisasi sebuah perusahaan publik seperti Telkom merupakan hasil perkalian antara jumlah saham setor dengan harga saham. Kedua hal itu – jumlah dan harga saham -- tidak dapat dikontrol secara langsung oleh direksi sebuah perusahaan, sekalipun hebat. Jumlah saham ditentukan oleh pemegang saham, sementara harga saham ditentukan oleh para investor di pasar modal tempat saham Telkom dicatatkan dan diperdagangkan.
Harga penutupan saham Telkom pada 24 Juni 2005, hari ketika Arwin menggantikan Kristiono adalah Rp 4.975 per unit. Itu berarti kapitalisasi Telkom waktu itu adalah Rp 67,415 triliun. Pada Jumat, 12 Mei 2006 – kurang lebih setahun setelah Arwin menjadi Dirut Telkom – harga saham Telkom ditutup pada Rp 8.250 per unit. Kapitalisasi Telkom menjadi Rp 111,793 triliun, itu berarti telah naik 65,8%.
Pertanyaan sekarang, apakah kenaikan harga saham yang berakibat pada kenaikan kapitalisasi Telkom merupakan prestasi direksi sekarang ini? Tentu tidak mudah menjawabnya.
Untuk itu, sebenarnya Kementerian Negara BUMN bisa mengelola seluruh BUMN yang mencapai 139 sekarang dengan cara sederhana dan transparan. Caranya, tetapkan saja target laba sebelum pajak sebuah BUMN sebagai alat ukur tunggal atas kinerja direksi BUMN. Tetapkan target bersama direksi tentunya, kalau perlu umumkan di koran. Selama dapat mencapai target tersebut maka kedudukannya sebagai direksi BUMN aman. Mereka akan diganti jika gagal mencapainya, misalnya, selama dua tahun buku berturut-turut.
Dengan patokan di atas kita akan tahu mengapa direksi BUMN diganti dan apa yang diperlukan oleh direksi BUMN untuk mempertahankan posisinya. Semua menjadi transparan dan terukur. Tentu saja, dengan pola ini, ada yang dirugikan, yaitu para calo yang sukar mengatur-ngatur pengangkatan direksi BUMN, entah karena berharap komisi atau karena kepentingan lainnya. (Baso Amir)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar