Sabtu, 20 Mei 2006

Perlukah BEJ dan BES Dimerger?

Jangan ajukan pertanyaan di atas kepada Darmin Nasution, sebab jawabannya pasti: sangat, sangat perlu! Bahkan tak lama setelah ditetapkan menjadi Dirjen Pajak, dia sudah membuat pernyataan yang mewanti-wanti penggantinya: ”Seluruh agenda Bapepam akan terus berlanjut, seperti merger Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan Bursa Efek Surabaya (BES).”
Wacana penggabungan BEJ dengan BES memang menguat dua tahun belakangan ini. Awalnya, itu merupakan bagian dari rencana induk pengembangan pasar modal kita. Di situ disebutkan, antara lain, BEJ dan BES akan dimerjer pada 2008.
Lalu, mengapa Bapepam begitu ”kebelet” mempercepat penggabungan kedua bursa dengan pasar dan produk utama yang sangat berbeda itu? Bahkan, di berbagai kesempatan, Darmin Nasution menegaskan, proses merjer harus rampung pada Juni 2006.
Kejatuhan harga obligasi pada September 2005 boleh jadi merupakan katalisator merjer BEJ-BES. Pada bulan itu harga obligasi jatuh seiring peningkatan suku bunga perbankan. Reksa dana berpenghasilan tetap yang mengandalkan obligasi juga anjlok.
Terjadilah reaksi berantai. Investor berlomba-lomba mencairkan unit reksa dananya. Industri reksa dana pun ikut-ikutan terpuruk. Nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana yang mencapai Rp 110,77 triliun pada Februari 2005 anjlok menjadi Rp 48 triliun pada akhir September 2005. Itu berarti NAB tergerus sekitar 55% dalam tempo sekitar 9 bulan. Padahal untuk mencapai besaran Rp 110 triliun diperlukan waktu sekitar lima tahun.
Bapepam – sebagai otoritas tertinggi pasar modal di Indonesia -- berupaya mencari jalan untuk meningkatkan pasar modal, terutama obligasi. Bapepam tidak menginginkan fluktuasi harga yang ekstrim. Ternyata, seperti dikemukakan oleh Darmin Nasution ke beberapa media, hal itu akan mudah dilakukan jika kedua bursa – BEJ dan BES – digabungkan. “Bukan hanya penting digabungkan, tetapi dilakukan secepatnya.”
Disealah Main Stream, perusahaan konsultan dari Korea Selatan, untuk membuat kajian bagaimana meningkatkan pasar obligasi di Indonesia. Hasilnya, diajukan tiga pilar pengembangan pasar sekunder obligasi. Pertama, pembentukan Bond Pricing Agency (BPA). Kedua, meningkatkan fasilitas perdagangan obligasi, terutama perdagangan secara elektronik. Ketiga, pembentukan sistem dealer primer (primary dalership system).
BPA merupakan sebuah badan independen yang bertugas menentukan nilai wajar obligasi yang diperdagangkan di pasar sekunder. Informasi ini akan disebarkan kepada investor sebagai patokan ketika hendak menjual atau membeli obligasi.
Sekarang ini BES bertindak sekaligus sebagai tempat memperdagangkan obligasi dan penetapan indikator harga obligasi. Tampaknya Bapepam melihat kondisi ini sebagai suatu yang tidak benar karena dianggap dapat menyebabkan konflik kepentingan.
Sebenarnya, jika Bapepam hendak memisahkan kedua fungsi di atas, tanpa menggabungkan BEJ dan BES pun tetap dapat dilakukan. Apalagi, bersatunya kedua fungsi itu di BES bukan by design, tetapi semata-mata karena kekosongan aturan. Bapepam tingal membuat aturan pemisahannya.
Pilar kedua, meningkatkan fasilitas perdagangan obligasi, terutama perdagangan secara elektronik. Dengan sistem ini akan diperkenalkan perdagangan partai besar (wholesale) maupun eceran. Ini memungkinkan investor dengan dana terbatas dapat langsung investasi di pasar obligasi.
Untuk hal ini ”kesalahan” tidak di BES. Ini berawal dari nilai nominal obligasi yang bisa mencapai ratusan juta rupiah per unit atau batasan minimal transaksi yang bisa mencapai Rp 500 juta. Akibatnya, yang terlibat hanya investor besar, seperti pengelola reksa dana, pengelola dana pensiun atau bank. Sebenarnya cukup dengan membuat aturan nilai nominal dan minimal nilai transaksi, hal ini bisa diatasi. BEJ dan BES tidak perlu digabungkan jika tujuannya hanya untuk memungkinkan perdagangan obligsi secara eceran.
Demikia pula halnya dengan pilar ketiga. Sistem dealer primer (primary dalership system) tetap dapat diterapkan, walau BEJ dan BES tetap berdiri sendiri. Dealer prime yang diharapkan berasal dari bank, perusahaan sekuritas dan lembaga lainnya, bertugas meningkatkan kapasitas pasar primer untuk menyerap penerbitan obligasi baru dan meningkatkan likuiditas pasar sekunder. Seperti dua pilar lainnya, aturan ini, jika sudah dibuat dapat langsung diterapkan di BES tanpa perlu menggabungkannya dengan BES.
Kita setuju dengan visi membangun pasar modal yang efisien dan transparan. Kata Darmin Nasution, hal itu merupakan suatu yang krusial untuk membawa perekonomian kita yang selama ini didominasi oleh perbankan ke era di mana pasar modal akan menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan. Akan tetapi mutlatkah itu didahului penggabungan BEJ dan BES? Sebenarnya, merjer dan peningkatan peran pasar modal merupakan dua hal yang berbeda. Dua pasar modal bisa tetap efisien dan transparan, sama halnya dengan satu pasar modal bisa pula menjadi sumber inefisensi dan skandal.
Jadi, sebenarnya, satu-satunya alasan yang bisa diterima mengapa BEJ dan BES harus digabungkan hanya ini: Bapepam tidak mau repot. Daripada mengawasi dua bursa, lebih enteng mengawasi satu bursa kan? Jadi itu sebenarnya efisiensi untuk Bapepam (Baso Amir).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar