Senin, 05 Juni 2006

Tim Super UKRE

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampaknya belum puas atas kinerja tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Serangkaian paket kebijakan yang diluncurkan dua tahun belakangan ini belum berhasil mereformasi mesin perekonomian kita. Di tengah pengumuman berbagai indikator perekonomian yang cenderung membaik, seperti peningkatan cadangan devisa, penguatan nilai tukar rupiah, indeks harga saham yang melambung tinggi, keluh-kesah juga masih banyak.

Para pengusaha, misalnya, masih mengeluhkan “ekonomi biaya tinggi”, beban operasi yang makin berat karena kenaikan harga BBM, listrik dan tenaga kerja, perizinan yang berbelit-belit dan daya saing yang makin lemah. Selain itu kita juga membaca jumlah pengangguran (terbuka maupun tertutup) yang cenderung membesar, penduduk miskin yang makin banyak dan sebagainya.

Untuk itu, Presiden SBY akan membentuk unit kerja reformasi ekonomi (UKRE). Menurut Menteri Koordinator Perekonomian, Boediono, unit kerja baru ini bertugas memperlancar pelaksanaan reformasi di bidang ekonomi, administrasi, BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah). ”Ini nanti merupakan alat Presiden untuk memperlancar pelaksanaan reformasi di berbagai bidang tersebut,” kata Boediono (SINDO, 27 Mei 2006).

Saya yakin Presiden SBY tidak sendirian dalam ketidakpuasan reformasi ekonomi kita yang seolah berjalan di tempat. Sebagian besar anggota bangsa ini juga belum puas. Berbagai hasil survei mendukung hal tersebut. Persoalannya adalah apakah reformasi ekonomi akan ”berlari kencang” dengan membentuk unit kerja reformasi ekonomi? Apakah unit ini memang solusi yang kita perlukan sekarang ini?

Tidak banyak informasi terungkap tentang alasan pembentukan UKRE ini. Penjelasan Boediono setelah rapat terbatas pada 26 Mei 2006 merupakan satu-satunya yang tersedia. Menurutnya, UKRE dibentuk karena Presiden memerlukan alat yang bisa digunakan menjangkau perkembangan kemajuan reformasi di berbagai bidang ekonomi.

“Presiden ingin mempunyai alat yang lebih membumi. Jadi nantinya mereka menjangkau sampai ke lapangan untuk mengetahui apa yang dirasakan dunia usaha. Juga mencek, apakah upaya perbaikan iklim usaha selama ini sudah benar-benar dirasakan,” kata Boediono. Laporan UKRE kelak akan menjadi masukan (input) kepada Presiden untuk memberikan arahan kepada menteri-menterinya.

Seperti dikutip SINDO, Boediono mencontohkan kinerja UKRE kelak akan mirip dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang digunakan untuk mengatasi akibat bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias.

Ada beberapa ”kalimat kunci” untuk menduga tugas UKRE kelak. Pertama, sekarang Presiden tidak memiliki ”alat” untuk mengetahui arah dan perkembangan reformasi ekonomi. Ini dapat berarti Presiden SBY tidak mengetahui kondisi utuh dan sebenarnya posisi dan arah reformasi ekonomi kita sekarang ini. Penyebabnya, mungkin saja karena masing-masing menteri dalam tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KBI) hanya melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan ”kotaknya” atau kementeriannya. Bagaikan ingin menggambarkan seekor gajah, boleh jadi yang muncul adalah laporan tentang belalai yang panjang, kuping yang lebar dan telapak kaki yang lebar. Tidak ada gambaran yang utuh.

Kedua, Presiden SBY membutuhkan alat yang membumi. Apakah ini berarti tim ekonomi KBI sekarang ini tidak membumi atau hanya melaporkan sesuatu yang di awan-awan? Menurut Boediono, UKRE ini dibentuk sebagai perpanjangan tangan Presiden. Pertanyaan kita sekarang, apakah para menteri KBI ini tidak menjalankan peran sebagai perpanjangan tangan Presiden? Apakah para menteri (ekonomi) sekarang ini berjalan dengan kebijakan masing-masing, bukan merupakan kebijakan KBI dengan Presiden di puncaknya?

Ketiga, UKRE akan menjadi tim yang operasional. Jika kinerjanya akan seperti BRR, berarti UKRE harus beraksi. Ia akan membuka sumbatan-sumbatan di berbagai kementerian yang saling bersinggungan. Akan tetapi, jika harus beroperasi seperti BRR, maka UKRE harus memiliki tim operasional dan harus mengambil-alih tugas sejumlah menteri. BRR, misalnya, mengambil-alih sebagian tugas Kementerian Pekerjaan Umum.

Mudah-mudahan tiga ”kalimat kunci di atas” tidak benar. Sebab, jika demikian adanya maka kita sebenarnya menghadapi persoalan yang sangat serius, yaitu tim ekonomi KBI dan jajaran birokrasinya belum berjalan dengan benar untuk mereformasi mesin perekonomian kita.

Untuk melancarkan reformasi ekonomi seharusnya dicari penyebab utama sehingga tim ekonomi KBI belum berhasil. Tanpa mengetahui penyebab yang sebenarnya, maka tim UKRE bukan solusi yang tepat. Bukan tidak mungkin tim ini hanya akan menjadi persoalan baru. Percepatan reformasi ekonomi seharusnya difokuskan pada upaya-upaya mengurangi (kalau tidak bisa menghilangkan) enersia pada tim ekonomi KBI dan mesin birokrasinya.

Tentu saja, Boediono yang baru beberapa bulan menjadi Menko Perekonomian tidak mau disebut “belum berhasil.” Itu sebabnya, kepada SINDO ia mengatakan, ”Di Inggris saja ada tim persis seperti itu dan di sana jalan.” Masalahnya Pak Boediono, tidak ada jaminan bahwa semua yang berjalan di Inggris, bisa pula berjalan di Indonesia. Tidak ada jaminan bahwa UKRE akan menjadi tim super (Baso Amir).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar