Alangkah berat beban yang harus dipikul oleh Pemerintah. Itu yang terlintas di benak saya usai membaca berita bertajuk Investor Butuh Kepastian (SINDO, 15 Juni 2006). Di berita dua kolom itu, seolah mewakili suara para investor jalan tol, Direktur Utama PT Jasa Marga (Persero), Frans Sunito, meminta pemerintah memberikan kepastian dalam berinvestasi di jalan tol dengan menalangi lebih dulu biaya pembebasan tanah.
Frans Sunito menjamin, jika langkah di atas dilakukan oleh pemerintah, maka jalan tol akan berkembang pesat. “…kami para investor sanggup membayar kembali biaya tanah pada pemerintah. Misalnya, kalau pemerintah keluarkan dana Rp 300 miliar, investor akan senang hati membayarnya ditambah bunga dan fee,” kata Frans.
Tak ada yang salah atas permintaan Frans. Boleh jadi itu didasari pengalaman dan realitas yang dihadapinya ketika membangun jalan tol selama ini. Seperti kita sering baca di koran, ada pemilik tanah memblokir jalan tol. Kita pernah menyaksikan di TV sekelompok masyarakat – mewakili pemilik tanah – membangun warung kopi di tengah jalan tol. Alasannya, tanahnya belum dibayar.
Pada era Orde Baru, “perlawanan” pemilik tanah bisa dengan mudah dipatahkan. Investor tinggal mengirimkan tukang pukul. Dengan sedikit gertakan sembari menunjukkan gagang pistol dan pentungan, pemilik tanah biasanya menerima ganti rugi. Dalam banyak kasus, uang ganti rugi itu benar-benar merugikan pemilik tanah (namanya juga ganti rugi!). Akan tetapi itu lebih bagus daripada babak belur dan dituduh subversif karena menghalangi pembangunan nasional.
Era seperti di atas sudah tamat. Itu pernah diakui oleh Wakil Presiden Muhamad Jusuf Kalla. Pemerintah sekarang tidak bisa lagi “memaksa” masyarakat. Beberapa peraturan pemerintah terpaksa dirombak sebelum diberlakukan karena diprotes habis-habisan oleh masyarakat. Masih ingatkan peraturan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum?
Jika semua investor meminta jaminan kepastian dari pemerintah seperti Frans Sunito, sekali lagi, sungguh berat beban pemerintah. Pembangunan Indonesia tak hanya jalan tol. Kita juga butuh lahan untuk jembatan, perumahan, perkebunan, terminal, pelabuhan, bandar udara, mal, tempat pembuangan sampah, WC umum bahkan hingga untuk pekuburan.
Selain itu, investor yang berniat menanamkan dananya di Indonesia – baik asing maupun domestik – tidak hanya di jalan tol. Masih ada ratusan sektor usaha lain yang juga menuntut “kepastian.” Industri perkayuan yang kehabisan bahan baku, pabrik pupuk yang terpaksa menganggur karena tidak punya gas alam untuk diolah menjadi menjadi pupuk (padahal Indonesia salah satu produsen gas alam terbesar di dunia), pabrik tekstil dan garmen yang kalang kabut menghadapi serbuan produk serupa Cina, buruh yang terus-menerus menuntut kenaikan upah tetapi tetap masih hidup di bawah garis kemiskinan serta segunung persoalan lain yang seolah-olah beranak-pinak tiada henti.
Lagipula masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah bukan hanya ekonomi. Belum rampung kegiatan pembangunan kembali Aceh dan Nias, terjadi gempa bumi yang meluluh-lantakkan sebagian DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Lalu ada luncuran awas panas dari Merapi, gunungan sampah di kota Bandung, serbuan lumpur panas di Sidoardjo, pemberantasan korupsi hingga kritikan tak tahu diri dari Perdana Menteri Australia bahwa kita tidak becus memerangi terorisme karena membebaskan Abu Bakar Ba’asyir.
Sebenarnya, dalam rangka memberikan “kepastian” kepada investor, pemerintah telah menerbitkan sejumlah paket kebijakan ekonomi. Setelah menaikkan harga BBM pada 1 Oktober 2005, Menko Perekonomian Aburizal Bakrie (kini Menko Sosial) mengumumkan paket insentif Oktober. Lalu, awal Maret 2006, pengganti Aburizal, Boediono, mengumumkan lagi sejumlah paket kebijakan ekonomi. Salah satu isinya, perizinan akan dipangkas dari 150 hari menjadi 30 hari.
Berhasilkah? Sayangnya, iklim dan “kepastian” berusaha tidak dengan sendirinya menjadi baik dengan peluncuran sejumlah peraturan dan paket kebijakan ekonomi. Hal yang sebenarnya lebih penting adalah apakah peraturan itu dijalankan oleh semua pihak, terutama birokrasi di tingkatan ujung tombak. Ini sebenarnya yang tumpul selama ini: implementasi di lapangan. Padahal, seperti kita tahu, budaya paket kebijakan telah dimulai pada 1988 dengan peluncuran Paket Oktober (Pakto) yang kesohor oleh Menteri Keuangan Sumarlin ketika itu. Frans Sunito yang masih tetap mengeluhkan “kepastian” merupakan salah satu bukti bahwa paket kebijakan tersebut belum seluruhnya berhasil.
Namun, jangan-jangan para investor (juga kelompok masyarakat yang lain) memang tidak akan pernah berhenti berkelu-kesah. Jangan-jangan mereka berprinsip, kalau tidak mau direpotkan, ya jangan jadi pemerintah. Ini memang tidak sepenuhnya salah. Tetapi barangkali sudah waktunya, kita semua – sebagai bangsa -- sadar bahwa mustahil pemerintah menyelesaikan semua persoalan kita. Saya kira sangat keterlaluan kalau sekadar untuk membuang sampah yang menggunung di Bandung dan menghentikan lumpur panas di Sidoarjoa Pemerintah Pusat yang harus turun tangan. Apalagi, disuruh jadi “bandar tanah.” (Baso Amir) ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar