20 Mei 2006. Siaran berita sore TVG. Kamera menyorot pembongkaran “rumah liar” di suatu tempat di Tangerang. Menggunakan tambang plastik, sejumlah petugas Satpol PP Tangerang – sebagian dengan wajah tersenyum – beramai-ramai menarik rumah yang terbuat dari kayu itu hingga roboh dan rata dengan tanah.
Satu dua detik kemudian kamera menyorot close-up seorang wanita muda yang sedang hamil tua. Matanya yang berair menatap nanap tempat tinggalnya yang baru saja dihancurkan. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya ketika reporter TVG mengajukan pertanyaan kepadanya. Dia hanya menunjuk reruntuhan rumahnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengelus-ngelus perutnya. Mungkin ia ingin menenangkan bayi yang dikandungnya karena berontak menyaksikan “kezaliman” tersebut.
Dari footage di kiri bawah layar TV terbaca, nama perempuan muda yang sedang hamil tua itu Nur. Dia berasal dari Bogor. Dia berurai air mata karena tempat tinggalnya, yang dia kontrak dari seseorang, baru saja dihancurkan. Nur dan sejumlah penghuni “rumah liar” di Tangerang itu hanya pasrah ketika sejumlah petugas Satpol PP beraksi. Mungkin mereka sadar, melawan hanyalah kesia-siaan. “Nggak tahu mau pindah ke mana lagi,” kata salah seorang di antara korban penggusuran itu.
Dan Nur tidak sendirian. Pada acara yang sama di TVG disiarkan penggusuran pedagang kaki lima di Bekasi (Jawa Barat) dan di Kendari (Sulawesi Tenggara). Bahkan penggusuran di Kendari diiringi pengeroyokan seorang pedagang. Pelakunya sama, Satpol PP.
Kita juga sering membaca, penambang liar ditertibkan (artinya tidak boleh lagi menambang), peladang liar digusur, nelayan direlokasi ke darat karena pantai yang selama ini menghidupinya akan diurug dan dijadikan kawasan komersial.
Kemana Nur Cs setelah digusur? Tampaknya, pemerintah daerah (juga pemerintah pusat) yang diwakili oleh Satpol PP-nya tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut. Itu bukan urusan pemerintah. Seperti dikemukakan oleh seorang komandan tramtib (ketentraman dan ketertiban) dari Jakarta Utara kepada stasiun TV yang lain, “Kami sudah beri surat peringatan tiga kali, tetapi karena tetap tidak dibongkar, ya kami tertibkan.” Dan “tertibkan” itu sama dengan pembongkaran secara paksa.
Pemerintah memang harus menegakkan peraturan dan undang-undang. Menempati tanah milik orang lain melanggar undang-undang dan meniadakan tertib hukum. Dampaknya sangat negatif. Salah satunya, mengutip para pejabat, ”Itu bisa mengurungkan niat para pemilik modal berinvestasi di negara kita.” Itu sebabnya Nur harus digusur karena tanah itu bukan miliknya. Rakyat penambang tidak boleh menggali emas atau batu bara karena areal itu telah menjadi konsesi perusahaan besar bahkan multinasional. Rakyat tidak boleh menebang pohon di hutan yang HPH-nya telah dipegang oleh cukong. Hebatnya, satu cukong bisa menguasai HPH jutaan hektar.
Secara hukum formal tidak yang ada salah mengusir Nur Cs dari tanah yang bukan miliknya. Masalahnya, Nur Cs, suka atau tidak, adalah warga bangsa ini yang kebetulan bernama Indonesia. Boleh jadi dia memang tidak punya KTP (Kartu Tanda Penduduk). Tetapi percayalah, kuburan nenek-moyang Nur di Bogor lebih dulu ada dari sistem per-KTP-an kita.
Lalu mengapa Nur dan banyak nur lainnya selalu terusir dan tergusur di negaranya sendiri? Jawabannya: karena mereka miskin dan papa. Jangankan untuk beli rumah, untuk makan sehari-hari saja susah. Nur sebenarnya ingin tinggal di rumah yang legal dan layak. Ia ingin melahirkan anaknya di bawah atap, bukan di kolong langit. Mereka tinggal di “rumah liar” karena tidak punya pilihan lain. Bahkan itu merupakan satu-satunya pilihan buatnya. Kini, satu-satunya pilihan itu, atas nama hukum dan ketertiban, telah rata dengan tanah, direnggukkan secara paksa oleh ”negara” yang seharusnya, berdasarkan kewajiban konstitusi, melindunginya.
Tampaknya, gegap-gempita pembangunan kita tidak menyentuh orang-orang seperti Nur. Indikator-indikator ekonomi yang mentereng, seperti pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto), pertumbuhan APBN, peningkatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), penguatan nilai tukar rupiah, pertumbuhan cadangan devisa, peningkatan pendapatan per kapita dan berbagai indikator lainnya seolah tidak menyentuh Nur dan belasan juta warga miskin lainnya.
Sekali lagi, Nur tidak sendirian. Jumlah orang yang merasa terpinggirkan di tengah hiruk-pikuk proyek pembangunan jalan tol, jembatan, pusat perbelanjaan, bandar udara dan berbagai proyek fisik lainnya makin banyak. Makin banyak orang yang tidak mengerti mengapa penghasilan bulanannya hanya cukup untuk hidup selama seminggu di tengah peningkatan cadangan devisa negara dan uang beredar. Bahkan ada seorang tua yang pernah merasakan hidup di zaman penjajahan Jepang mengatakan, “Masih lebih mudah hidup di zaman Jepang daripada sekarang.”
Kepada siapa Nur harus mengadu? Adakah ia masih diakui sebagai warga bangsa ini. Jika ya, mengapa ia hanya kebagian digusur dalam era pembangunan ekonomi yang kita sudah selenggarakan secara masif selama kurang lebih 40 tahun belakangan ini? Pertanyaan ini harus kita jawab, sebab suatu saat Nur dan nur lainnya bisa lelah menjadi penonton pembangunan yang hanya kebagian digusur (Baso Amir).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar