Dalam hal rekayasa finansial, pemerintah daerah (pemda) tampaknya tidak mau kalah dari pengelola perusahaan (swasta maupun BUMN). Buktinya, seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sekitar Rp 43 triliun dana pemda ditempatkan dalam instrumen surat berharga SBI atau Sertifikat Bank Indonesia (lihat berita utama Sindo, Kamis, 29 Juni 2006).
Trend sekitar satu setengah dekade terakhir ini, perusahaan berusaha mengoptimalkan pengelolaan dananya dengan membentuk divisi/bagian tresuri. Tugasnya tidak hanya mengelola aliran kas (cash flow) sebuah perusahaan, tetapi juga diberi tanggung-jawab memanfaatkan dana lebih yang belum waktunya dibelanjakan agar dapat menghasilkan (tambahan) bunga. Pada beberapa perusahaan, terutama yang menerima dana tunai untuk setiap transaksinya seperti restoran, penghasilan divisi/bagian treasuri kadang-kadang lebih besar dari pendapatan yang berasal dari bisnis utamanya.
Kegiatan tresuri peusahaan itu tampaknya mengilhami sejumlah kepala daerah untuk menyelenggarakan kegiatan serupa. Dana yang diperoleh dari pemerintah pusat dalam bentuk DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus) dana perimbangan pusat-daerah, tidak langsung dibelanjakan untuk menggerakkan perekonomian di daerah. Dana-dana tersebut ”dikembangbaikkan” dulu untuk menghasilkan tambahan pendapatan bunga. Jika bunga SBI berjangka waktu sebulan adalah 12,50% per tahun, maka dalam sebulan dana Rp 43 triliun menghasilkan bunga Rp 448 miliar. Suatu jumlah yang lumayan besar, apalagi jika bunga tersebut masuk ke rekening pribadi para pejabat di daerah.
Kita belum tahu motif di balik ”pengaryaan” dana APBD di instrumen SBI tersebut. Boleh jadi ini dampak langsung dari tampilnya sejumlah pengusaha (di beberapa daerah isteri pengusaha) menjadi bupati, walikota dan gubernur di sejumlah kabupaten, kotamadya dan propinsi di Indonesia. Sebagai pengusaha mereka tentu saja mahir memutar uang ”nganggur” agar memberikan hasil yang lebih besar ketimbang hanya ditempatkan dalam rekening giro atau deposito.
Seperti dilaporkan di Sindo, walau menghasilkan tambahan pendapatan buat pemda (itu jika bunga dana tersebut masuk ke rekening pemda), penempatan dana sebesar Rp 43 triliun itu merupakan suatu yang ironis. Seperti kita sering baca di berbagai media cetak, daerah-daerah masih kekurangan infrastruktur dan kesulitan lapangan kerja. Kita menyaksikan di layar TV gedung sekolah dasar dengan dinding bolong dan atap doyong. Seharusnya dana tersebut dapat digunakan untuk menggerakkan perekonomian daerah – antara lain membuka lapangan kerja -- dengan membangun dan memperbaiki infrastruktur dan prasarana tersebut.
Ada beberapa faktor penyebab dana pemda tersebut dibiakkan di SBI lebih dulu. Pertama, fungsi perencanaan di daerah belum berjalan optimal. Akibatnya, terjadi senjang waktu (time lag) yang relatif panjang lama antara uang diterima dan pembelanjaan. Nah, sebelum dibelanjakan untuk proyek di daerah – dalam bentuk pembayaran kepada kontraktor atau pembelian barang dan jasa – dana tersebut ditempatkan dulu di SBI. Apalagi, seperti kita tahu, SBI itu berjangka pendek dan aman. SBI pasti dibayar kembali oleh Bank Indonesia jika jatuh tempo. Asal pandai mengatur jatuh tempo, pemda tidak bakal mendapatkan masalah, misalnya gagal membayar vendor/kontraktor karena tidak berhasil mencairkan surat utang.
Kedua, boleh jadi perencanaan sudah berjalan dengan baik, tetapi dana ”nganggur sementara” memang tidak dapat dihindarkan. Seperti kita tahu, pengerjaan suatu proyek – misalnya pembangunan jembatan – berlangsung beberapa bulan. Pembayaran dilakukan sesuai tingkat penyelesaian proyek. Jika misalnya biaya proyek Rp 10 miliar, maka tidak seluruhnya dibayarkan di depan. Kalau dana tersebut diterima sekaligus oleh pemda dari pemeritah pusat, berarti senjang waktu penerimaan dan pembelanjaan uang memang tidak dapat dihindarkan.
Ketiga, pemda memang secara sengaja mencari ”tambahan pendapatan” dengan memutar dulu dana APBD tersebut. Dulu, entah sepengatahuan atasan atau bukan, ini biasanya dilakukan oleh bendaharawan atau kepala bagian keuangan. Dana yang sudah masuk itu dipinjamkan dulu ke pihak ke-3 dengan bunga yang relatif tinggi. Pihak yang meminjam biasanya kalangan pegawai di lingkungan instansi tersebut. Pembayaran kembali pinjaman langsung dilakukan oleh bendaharawan dengan memotong gaji sang peminjam.
Kini, pola seperti di atas boleh jadi tidak dapat lagi dijalankan. Jumlah dana yang hendak diputar sudah besar. Jika dipinjamkan hanya kepada karyawan pemda maka tidak seluruhnya terserap. SBI akhirnya menjadi instrumen yang paling ideal, legal dan aman.
Faktor ketiga harus diperhatikan dengan seksama. Masak iya sih untuk membelanjakan duit saja pemda tidak sanggup? Bukankah sekarang ini, seiring pengawasan dan audit yang makin ketat – pejabat makin susah mendapatkan ”kick back” dari penyelenggaraan proyek. Boleh jadi ini dampak langsung dari gegap-gempita pemberatasan korupsi sekarang ini. Hal itu telah memaksa aparat pemda untuk ”kreatif,” mencari tambahan penghasilan dengan modus yang baru: membungakan dana APBN dari Pemerintah Pusat.
Untuk itu, apapun motifnya, bunga yang diterima dari penempatan dana di instrumen SBI itu harus ditelisik, masuk ke rekening siapa: pemda atau perorangan? Mudah-mudahan ini belum menjadi modus baru para pejabat menggerogoti anggaran negara, setelah modus penggelembungan (mark up) biaya proyek menjadi tidak aman karena mudah diendus oleh auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). (Baso Amir)**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar