Menurut Paul Wolfowitz, Presiden Bank Dunia, pemberantasan korupsi butuh waktu lama, bisa satu generasi. Taruhlah satu generasi hidup selama 60 tahun. Untuk kasus Indonesia, jika anggaran pemerintah pusat dikorupsi 10% setahun dengan jumlah anggaran rata-rata Rp 600 triliun per tahun, maka nilai kumulatifnya mencapai Rp 60 triliun dikali 60 = Rp 3.600 triliun. Penulis yakin bangsa ini tidak akan mampu bertahan menanggung beban korupsi sebesar itu. Apalagi jika ditambahkan korupsi dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara), anggaran pemerintah daerah, pemerasan/sogokan pada pelayanan publik dan berbagai “pos” korupsi lainnya.
Pemerintahan sekarang ini bertekad memberantas korupsi. Itu merupakan salah satu program utama Kabinet Indonesia Bersatu. Kini beberapa kasus korupsi kelas kakap sudah diungkap. Sejumlah anggota DPR (terutama tingkat satu dan dua), kepala dinas, bupati dan gubenur telah ditetapkan sebagai tersangka. Beberapa terdakwa telah divonis, seperti mantan Direktur Utama dan Direktur Investasi PT Jamsostek, Ahmad Djunaidi dan Andy Rahman Alamsyah, serta sejumlah pembobol Bank Mandiri. Bahkan ada yang dihukum seumur hidup di penjara.
Pengungkapan dan vonis atas pelaku korupsi itu tampaknya tidak memberikan efek jera. Lihatlah berita di halaman nasional, politik dan hukum di berbagai media cetak. Hampir setiap hari dapat dibaca berita korupsi baru yang berhasil diungkap atau sedang diselidiki dan disidik. Ada hakim yang berkomplot dengan panitera berusaha memeras/menakuti saksi perkara korupsi, ada jaksa yang menerima uang ratusan juta rupiah dari terdakwa korupsi, ada polisi penyidik yang meminta ”bagian” dari tersangka koruptor yang sedang diperiksanya, serta arisan tender proyek-proyek departemen dan dinas pemerintah. Banyak dari kasus baru itu terjadi pada periode 2004-sekarang, pada waktu pemberantasan korupsi digalakkan.
Pemberantasan korupi memang harus terus digalakkan. Diharapkan itu akan menyiutkan nyali pihak-pihak yang berniat dan mencari kesempatan untuk korupsi. Lebih penting lagi adalah membuat sistem yang tidak memungkinkan pejabat yang bersangkutan melakukannya.
Berikut beberapa usulan untuik mempercepat proses pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pertama, hilangkan ”triolisme” dan tumpang tindih dalam pemberantasan korupsi. Kini ada tiga lembaga yang bertugas memberantas korupsi, yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Kejaksaaan dan Kepolisian.
Untuk mempercepat pemberantasan korupsi, tiba waktunya kita pertimbangkan menyerahkan seluruh perkara korupsi kepada KPK. Kepolisian dan Kejaksaan cukup menangani perkara pelanggaran hukum selain korupsi yang jumlah dan kualitasnya tidak kalah besarnya. Selain itu, sudah terbukti selama ini, kepolisian dan kejaksaan belum berhasil mengurangi (apalagi menghentikan) korupsi di Indonesia, bahkan dalam banyak kasus korupsi juga dilakukan oleh (oknum) aparat kedua lembaga tersebut.
Ini tidak berarti aparat KPK tidak berpeluang juga melakukan korupsi. Peluang itu tetap ada, bahkan salah seorang (mantan) penyidik KPK sudah divonis karena korupsi (pemerasan). Akan tetapi, lebih mudah mengukur kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia jika hanya satu lembaga yang terlibat. Kita juga akan lebih mudah mengawasi KPK. Tentu saja, kapasitas dan kemampuan KPK perlu ditingkatkan dengan menambah tenaga penyidik dan jaksa penuntut.
Hal serupa perlu dilakukan pada majelis hakim yang mengadili perkara korupsi. Dualisme antara hakim karir dengan hakim ad hoc perlu diakhiri. Untuk mempercepat penanganan korupsi, serahkan semua perkara yang diajukan oleh KPK kepada hakim ad hoc korupsi. Seperti halnya kejaksaan dan kepolisian hakim karir hanya mengadili perkara non-korupsi.
Hal diatas perlu dibarengi dengan seleksi ulang jaksa, polisi dan hakim (karir). Kalau perlu, lakukan tes polygraph kepada mereka. Seleksi tenaga penyidik, jaksa dan hakim harus dilakukan dengan ekstra ketat, supaya kejadian seperti Suparman, mantan penyidik KPK, tidak perlu terulang.
Kedua, hapuskan izin pemeriksaan, baik dari presiden maupun pejabat di bawahnya. Sistem perizinan menghambat pemberantasan korupsi. Perizinan menyebabkan pemeriksaan tidak dapat dilakukan segera setelah penyidik menemukan indikasi pelanggaran/korupsi. Selalu ada jeda antara penerbitan izin dengan permintaan. Selang waktu ini dapat dimanfaatkan oleh calon tersangka untuk mengatur strategi dan mengaburkan/menghilangkan barang bukti. Selain itu, sistem perizinan juga melanggar sendi-sendiri kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang diatur Undang-Undang Dasar (UUD) kita yang, antara lain, menyatakan setiap warga negara bersamaan kedudukan di hadapan hukum.
Ketiga, lakukan audit forensik atas setiap pembelanjaan anggaran negara, terutama yang di dalamnya terdapat kegiatan pembelian (procurement). Tidak cukup lagi audit yang sekadar mencocokkan bukti-bukti transaksi dan prosedur serta dokumen tender. Kita semua tahu, bukti-bukti dengan mudah dapat dipalsukan. Sudah waktunya pencocokan antara bukti transaksi dengan harga pasar diberlakukan sebagai prosedur audit yang tetap. Jika sebuah instansi membeli mesin fotokopi, misalnya, jangan menggunakan harga patokan yang ditetapkan instansi tersebut atau instansi pemeritah lainnya. Gunakan harga pasar sebagai patokan. Dalam banyak kasus korupsi, mark up harga produk atau jasa merupakan modus yang paling sering dilakukan. Ini, misalnya, terjadi pada korupsi pengadaan pemancar RRI.
Keempat, penerapan sanksi sosial. Tampaknya di Indonesia, tindakan korupsi hanya dianggap salah secara legal, tetapi tidak secara sosial. Lihatlah prilaku para koruptor yang telah divonis. Mereka tidak pernah menunjukkan rasa bersalah dan menyesali perbuatannya. Mantan Dirut Jamsostek, Ahmad Djunaidi, bahkan blak-blakan mengungkapkan bagaimana dia telah mengirimkan dana ratusan juta rupiah kepada jaksa untuk mengurus perkaranya. Ia masih melakukan ”korupsi” bahkan ketika sedang ditahan untuk kasus korupsi.
Prilaku koruptor di negara kita sangat berbeda dengan Amerika Serikat dan Jepang. Di AS, misalnya, baru-baru ini kita menyaksikan anggota Kongres Randy Cunningham yang menangis di depan kamera TV, menyesali perbuatannya menerima sogokan untuk mengegolkan undang-undang. Ia meminta maaf kepada anak dan istrinya serta seluruh koleganya dan menyatakan apa yang telah dilakukannya salah.
Untuk itu, selain sanksi hukum, mungkin sudah waktunya sanksi sosial dijatuhkan kepada pelaku kejahatan korupsi. Bentuknya mungkin bisa berupa pengumuman satu halaman di sebuah koran nasional jika seorang terdakwa korupsi telah divonis. Kalau perlu, silsilah dan foto keluarganya dicantumkan dalam pengumuman tersebut.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar