Selasa, 18 Juli 2006

“Partai” Jamsostek

Tampaknya, akronim PT di depan Jamsostek bukan lagi perseroan terbatas, tetapi partai. Jadi, BUMN yang antara lain mengelola jaminan hari tua para pekerja di Indonesia itu menjadi “Partai” Jamsostek. Sebab, seperti layaknya anggota sejumlah partai politik, para karyawan yang berhimpun dalam Serikat Pekerja (SP) Jamsostek mengajukan mosi tidak percaya kepada Direktur Utama PT Jamsostek, Iwan Pontjowinoto.

Mengaku didukung oleh sebagian besar dari 3.000 karyawan Jamsostek, Abdul Latief Algaff, Ketua Umum SP Jamsostek, menuntut Menteri Negara BUMN, Sugiharto untuk segera mencopot Iwan Pontjowinoto yang diangkat sekitar setahun lalu itu. "Mulai saat ini para pejabat dan karyawan tidak akan mematuhi perintah-perintah beliau karena kami sudah menyampaikan mosi tidak percaya. Kami harap Menneg BUMN segera merespons tuntutan ini karena kami ingin segera bekerja dengan tenang," kata Abdul Latief Algaff ketika mengumumkan mosi itu kepada para wartawan di Gedung Jamsostek, Jakarta, Senin, 10 Juli 2006.

Konon, SP Jamsostek mengajukan delapan alasan yang mendasari mosi tidak percaya itu. Namun tak ada media yang memuat lengkap alasan tersebut. Portal detikcom, misalnya, hanya menyebutkan, “SP Jamsostek mengajukan mosi tidak percaya karena Iwan dianggap gagal menjalankan kepemimpinan sehingga PT Jamsostek menjadi tidak baik.” Menurut Abdul Latief Algaff, iklim kerja di BUMN itu menjadi tidak nyaman karena Iwan suka menekan, melakukan intimidasi dan melakukan tindakan tidak etis.

Iwan sendiri mengakui, seperti dikutip oleh Suara Pembaruan, hanya dua dari alasan tersebut yang benar. Selebihnya, “kebohongan besar.” Salah satu yang dianggap benar adalah gaya kepemimpinan yang dianggap keras. Akan tetapi, menurut Iwan, hal itu dilakukan untuk kebaikan Jamsostek. ”Buktinya, kinerja kinerja PT Jamsostek selama saya memimpin relatif lebih baik dibanding masa sebelumnya,'' katanya.

Jika takaran “lebih baik” itu kinerja keuangan, Iwan boleh jadi benar. Pada tahun 2005, pendapatan bersih iuran Jamsostek mencapai Rp 260,57 miliar, naik 15,68% dari tahun 2004. Pendapatan investasi bersih juga naik 7,6%, dari Rp 3,269 triliun menjadi Rp 3,518 triliun. Demikian pula halnya dengan laba bersih setelah pajak meningkat tajam 49,5%, dari Rp 421,06 miliar menjadi Rp 629,62 miliar.

Akan tetapi boleh jadi, patokan “lebih baik” Dirut Iwan Pontjowinoto berbeda dengan definisi SP Jamsostek. Buktinya, pertumbuhan laba bersih yang sangat pesat itu tetap dianggap tidak memadai oleh Abdul Latief Algaff cs. Apalagi, tentu saja, Iwan tidak dapat mengklaim pertumbuhan itu sebagai hasil kerjanya semata. Itu merupakan hasil kerjasama seluruh jajaran di BUMN tersebut.

Masalahnya, jika terjadi perbedaan persepsi atas suatu hal, apakah para karyawan lewat serikat pekerja (SP) memang berhak memberikan mosi tidak percaya kepada Dirut yang resmi diangkat oleh pemegang saham? Apakah sebuah PT (perseroan terbatas) memang bisa dikelola seperti “partai politik?” Apakah para karyawan yang tergabung dalam satu serikat pekerja berhak “memecat” direksi jika kebijakannya tidak sesuai dengan keinginan para karyawan?

Kita semua tahu, perseroan terbatas bukan partai politik. Pemegang kekuasaan tertinggi di sebuah PT adalah pemegang saham. Pada kasus Jamsostek, ya Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Negara BUMN. Tentu saja para karyawan berhak mengajukan usulan. Tetapi memberikan mosi tidak percaya dan mengancam akan mogok kerja jika mosi itu tidak dipenuhi oleh pemegang saham, saya kira para karyawan sudah melangkah terlalu jauh melampaui haknya. Sudah waktunya pemerintah menarik garis tegas untuk soal-soal seperti ini supaya tidak berlarut-larut dan terjadi di BUMN yang lain.

Perbedaan pendapat akan selalu ada. Jangankan dengan 3.000 karyawan, antara Iwan Pontjowinoto dengan anggota direksi Jamsostek yang hanya berjumlah 5 (lima) orang saja sudah terjadi perselisihan sejak tahun lalu. Itu sebabnya pada akhir 2005, Dewan Komisaris Jamsostek mengajukan tiga usulan kepada Kementerian Negara BUMN. Pertama, mendamaikan friksi di dalam dewan direksi. Kedua, mengganti anggota direksi yang menjadi penyebab friksi. Ketiga, mengganti seluruh jajaran direksi.

Terlepas apakah tuntutan SP Jamsostek itu benar atau sekadar bagian dari eskalasi “politik kantoran,” mungkin sudah waktunya anggaran dasar BUMN sekarang ini, terutama yang berkaitan dengan dewan direksi direvisi. Konflik di dalam dewan direksi – ada yang diam-diam tetapi ada juga yang terbuka – tidak hanya terjadi di Jamsostek, tetapi juga di BUMN yang lain.

Sudah waktunya Kementerian BUMN hanya memilih direktur utama. Sementara anggota direksi yang lain dipilih dan ditetapkan oleh direktur utama. Dengan demikian direktur utama bisa memimpin secara efektif karena tidak diboikot oleh anggota direksi yang lain. Seringkali boikot itu dilakukan bukan karena direktur utama inkompeten, tetapi hanya karena bukan dirinya yang menjadi direktur utama. Sebab, seperti halnya direktur utama, direktur juga hanya dapat diberhentikan oleh pemegang saham lewat RUPS. Lebih runyam lagi jika tiap-tiap anggota direksi BUMN dicalonkan oleh partai politik yang berbeda.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar