”Penurunan kinerja ekonomi bukan lagi wacana. Laporan kinerja emiten di bidang industri manufaktur yang mulai keluar membuktikan hal itu. Dalam kondisi suku bunga tinggi, perusahaan sekelas PT Astra International Tbk yang tak punya utang sekalipun, mencatat penurunan kinerja keuangan secara signifikan.”
Begitu alinea pertama berita utama di Rubrik Bisnis & Ekonomi Harian Kompas, edisi Sabtu, 29 Juni 2006. Menurut berita itu, “Astra International dan anak perusahaannya mencatat pendapatan bersih, laba kotor, laba usaha, laba bersih yang menurun secara signifikan selama semester pertama tahun 2006 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.”
Benarkah jika kinerja Astra International turun, maka kinerja ekonomi kita secara nasional juga ikut turun? Atau benarkah kalau volume penjualan mobil anjlok 49,4% pada semester pertama 2006 berarti ekonomi kita sedang “meriang?”
Saya bukan ekonom, tetapi saya yakin jawaban pertanyan di atas adalah tidak benar. Alasan Direktur Utama Astra, Michael D. Ruslin, bahwa penurunan kinerja perusahaan yang dipimpinnya karena ”kondisi makro-ekonomi memang sulit pada semester pertama akibat dari naiknya suku bunga dan harga minyak dunia pada 2005 ditambah terjadinya berbagai bencana yang melanda Indonesia” merupakan suatu hal yang berlebih-lebihan dan cenderung cuci tangan. Ruslin ingin menegaskan, penurunan laba bersih Astra sebesar 39% menjadi Rp 1,863 triliun pada semester I 2006 karena sesuatu yang di luar Astra. Jadi, “kambing hitamnya” ada di luar sana, yaitu suku bunga, harga minyak naik, bencana alam, serangan Israel ke Libanon, PLN melakukan pemadaman listrik secara bergilir, pemerintah tidak konsisten dan sebagainya.
Akan tetapi itulah cara berpikir sebagian besar dari kita, termasuk kalangan pengusaha. Ketika laba naik pesat, maka itu diklaim sebagai hasil kerja “smart” tim manajemen dan seluruh jajaran karyawan. Mereka pun membagi-bagikan bonus prestasi. Mereka berpesta.
Sebaliknya, begitu langit mulai mendung dan penjualan serta laba merosot, mereka mulai sibuk menuding dan menyalahkan pihak lain. Benarkah konsumen tidak beli mobil karena suku bunga kredit naik? Atau benarkah mereka menunda rencana pembelian mobil karena harga minyak naik? Saya yakin tidak banyak pemimpin perusahaan yang mau merepotkan diri bertanya kepada konsumen atau calon konsumennya untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Mengapa? Mencari kambing hitam jauh lebih muda. Apalagi, berdasarkan pengalaman selama ini, setelah dituding hanya satu-dua dari “kambing-kambing hitam” itu yang menanduk balik.
Mahluk hidup mengenal siklus. Ada waktu lahir, tumbuh, dewasa dan mati. Bisnis, seperti halnya mahluk hidup, juga punya siklus. Perusahan yang tahun lalu untung besar, boleh jadi tahun ini merosot, bahkan ada yang rugi. Penyebab kerugian dan keuntungan itu tidak pernah tunggal. Bisa karena faktor eksternal, tetapi tidak sedikit pula penyebabnya faktor internal. Hanya komposisi keduanya saja yang berbeda-beda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Contohnya, pada industri perbankan. Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2006, laba bersih Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia merosot jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Per Juni 2005 Bank Internasional Indonesia (BII) meraih laba bersih Rp 397,151 miliar. Pada periode yang sama tahun 2006, laba bersih BII hanya Rp 352,251 miliar atau turun 11,31%.
Akan tetapi, pada periode yang sama, laba bersih Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Central Indonesia (BCA) meningkat. Mengapa kinerja tiga bank yang disebut terakhir lebih bagus dari dua bank sebelumnya? Apakah karena mereka tidak terimbas kenaikan harga BBM naik? Atau suku bunga kredit melambung? Jika alasannya memang itu, maka seharusnya laba bersih Mandiri, BRI maupun BCA juga turun. Kenyataan sebaliknya. Seperti dapat dibaca pada laporan keuangan yang diumumkan minggu lalu, laba Mandiri naik 32,35%, BRI 3,41% dan laba bersih BCA tumbuh 15,9%.
Mau fakta lain? Lihatlah laporan keuangan PT Bimantara Citra Tbk. Per Juni 2005, dengan pendapatan Rp 1,127 triliun, Bimantara hanya membukukan laba bersih Rp 6,158 miliar. Per Juni 2006, dengan pendapatan 1,376 triliun Bimantara meraih laba bersih Rp 159,77 miliar. Itu berarti, dengan pendapatan yang hanya naik 22,1%, laba Bimantara tumbuh drastis 2.494,5%.
Orang-orang pesimis akan menyebut fakta-fakta di atas sebagai anomali. Boleh jadi memang benar, itu anomali. Akan tetapi itu sebabnya, kita tidak bisa menggunakan fakta kemerosotan kinerja sejumlah perusahaan, apalagi hanya satu perusahaan sekalipun sekaliber Astra, sebagai premis untuk menarik kesimpulan bahwa kinerja perekonomian kita sedang merosot pula. Tidak tertutup kemungkinan kemerosotan itu disebabkan oleh ketidak-becusan manajemen perusahaan itu sendiri. (Baso Amir)**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar