“Masak menghabiskan anggaran negara saja tidak mampu,” gumam seorang pensiunan pegawai negeri setelah membaca berita realisasi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) di berbagai departemen yang masih di bawah 10% dari pagu anggaran. Dia masih ingat, pada era dia aktif sebagai pegawai negeri dan sempat menjadi pimpinan proyek, “menghabiskan” anggaran negara tidak pernah menjadi persoalan. Dulu, masalahnya justru tidak ada uang yang akan dibelanjakan.
“Apa sekarang pemerintah kebanyakan uang sehingga tidak mampu lagi menghabiskannya?” tanyanya kepada diri sendiri. Soalnya, dia sendiri – apalagi setelah pensiun -- selalu merasa kekurangan duit. Gaji ke-13 yang baru saja diterimanya cuma bertahan beberapa jam di sakunya. Bahkan ia belum sempat membeli semua barang yang ada dalam daftar belanjanya, gaji ke-13 yang ditunggunya bertahun-tahun itu ternyata sudah ludes. Dalam urusan membelanjakan uang, pensiunan itu merasa dirinya lebih jago dari sejumlah departemen pemerintah.
Membelanjakan gaji ke-13 yang pas-pasan memang tidak sesulit dibandingkan menghabiskan APBN. Kenaikan harga barang dan jasa mempercepat penghabisan gaji ke-13 tersebut. Pensiunan itu baru sadar bahwa harga-harga telah meningkat jauh di atas harga pada waktu terakhir kali dia mengunjungi pasar beberapa bulan yang silam. Dia juga baru sadar bahwa pensiun yang diterimanya memang tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Itu sebabnya, ia harus memangkas daftar belanjanya.
Nasib pensiunan pegawai negeri di atas memang sangat kontras dengan Pemerintah Republik Indonesia yang kesulitan membelanjakan “uangnya”. Seperti dilaporkan SINDO, edisi 10 Agustus 2006, realisasi belanja Pemerintah Republik Indonesia per 31 Juli 2006 baru Rp 165,511 triliun, 38,71% dari anggaran sebesar Rp 427,598 triliun. Dalam lima bulan ke depan, mampukah pemerintah membelanjakan Rp 262,087 triliun? Ini jelas bukan tugas mudah, sebab itu berarti harus “menghabiskan” Rp 52,5 triliun sebulan atau Rp 1,75 triliun per hari.
Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, hingga pertengahan tahun ini terdapat tiga departemen yang realisasi pembelanjaan APBN-nya masih di bawah 10%, yaitu Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Departemen Kehutanan dan Departemen Perdagangan. Sementara Departemen Pertahanan (Dephan), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Kepolisian Negara sudah di atas 30% dari anggaran.
Pemerintah sudah mengemukakan sejumlah penyebab di balik realisasi yang baru 38,71% itu. Pertama, hambatan proses politik di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Menurut Sri Mulyani, pembahasan anggaran yang sangat rinci di DPR menelan waktu yang terlalu banyak. Karena terlalu sibuk meyakinkan DPR tak jarang departemen melupakan persiapan teknis proyek itu sendiri. Tentu saja tudingan ini dibantah oleh sejumlah anggota DPR.
Kedua, keterlambatan menyelesaikan perjanjian utang (loan agreement) dengan negara donor dan lembaga internasional. Akibatnya, pinjaman terlambat dicairkan dan seterusnya berdampak pada penyelesaian proyek.
Ketiga, kelemahan internal di departemen pemerintah. Ini mencakup kompetensi SDM (Sumber Daya Manusia) di bidang perencanaan dan proses pelaksanaan proyek. Dalam hal kelemahan di bidang perencanaan memang tidak ada jalan lain mengatasinya kecuali meningkatkan kemampuan SDM setiap departemen. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Paskah Suzetta, misalnya, pernah mengusulkan agar hanya pegawai negeri yang memiliki sertifikat manajemen proyek yang menjadi pimpinan proyek. Apalagi sekarang ini konon banyak pegawai yang menolak menjadi pimpro karena takut “diobok-obok” oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Padahal, jika semua berjalan di atas rel kebenaran, KPK tidak punya alasan untuk itu.
Selain itu, seperti dikemukakan oleh Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro, proyek-proyek baru di Departemen ESDM ditenderkan pada awal tahun dan karena kebanyak proyek di departemen itu waktu pengerjaannya jangka menengah dan panjang, maka pencairan anggaran baru terjadi pada pertengahan tahun. Artinya, keterlambatan penyerapan anggaran juga disebabkan oleh proses impelementasi proyek tersebut. Jika tender suatu proyek dapat dilakukan setelah APBN disetujui DPR yang biasanya akhir tahun maka keterlembatan kemungkinan akan selalu terjadi.
Keempat, dana DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) memang tidak langsung dicairkan pada awal tahun anggaran, tetapi biasanya pada akhir kuartal I. Akibatnya, hingga akhir kuartal I memang belum ada realisasi anggaran. Dalam banyak kasus dana proyek ditalangi oleh kontraktor/vendor yang ditunjuk oleh pemerintah mengerjakan proyek tersebut.
Masalah kita sekarang, setelah tahu penyebabnya, lalu tindakan apa yang akan dilakukan agar ke depan penyerapan APBN bisa sesuai target? Jangan sampai seperti yang selalu terjadi selama ini, kita berseminar begitu ada persoalan. Dalam seminar didiagnosis penyebab timbulnya masalah, tetapi setelah keluar dari ruang seminar bisnis dijalankan seperti biasanya, tidak ada yang berubah. Tiba-tiba, setahun kemudian, kita tersentak lagi atas masalah yang sama lalu kembali membuat diagnosis penyebab masalah. Begitulah siklus itu terus berulang dan kita tidak beranjak ke manapun.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar