Senin, 28 Agustus 2006

Berbohong dengan Statistik

Setelah debat jumlah orang miskin Indonesia merebak, iseng-iseng saya mengakses situs pencari (search) di Internet: Google (http://www.google.com). Saya mengetikkan “lie with statistics” ke dalam kolom pencarian di halaman depan situs tersebut. Hasilnya muncul dalam waktu 0,37 detik. Ternyata, ada 13.400.000 entri yang berkaitan dengan “lie with statistics.”
Artinya, topik berbohong dengan statistik bukan suatu yang asing. Topik itu cukup sering dibicarakan. Boleh jadi itu sebabnya hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak menanggapi para ekonom dan sejumlah politisi yang menuduhnya melakukan kebohongan publik mengenai jumlah orang miskin Indonesia, seperti yang disampaikan pada Pidato Kenegaraan di Sidang Paripurna DPR-RI, 16 Agustus 2006. Hanya Wakil Presiden Muhamad Jusuf Kalla yang bereaksi dengan mengatakan, “kalangan ekonom kerap tidak sportif dalam memberikan penilaian” (Sindo, 19 Agustus 2006).

Dalam Pidato Kenegaraan yang juga dihadiri sejumlah undangan – antara lain duta besar negara sahabat -- itu, dengan bangga Presiden SBY mengemukakan, “Kita telah berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dari 23,4 persen pada tahun 1999 menjadi 16 persen pada tahun 2005 lalu. Namun pencapaian sebesar 16 persen itu masih jauh dari sasaran yang ingin kita capai.”

Persentase jumlah penduduk Indonesia yang masih miskin inilah yang dipersoalkan oleh sejumlah ekonom. Seperti ditulis oleh Hendri Saparini, Ekonom Tim Indonesia Bangkit, jumlah orang miskin justru meningkat dari 18,4% pada 2001 menjadi 18,7% per Juli 2005 (Sindo, 21 Agustus 2006). Hendri Saparini mengutip data Susenas (Sensus Ekonomi Nasional) yang dilakukan BPS (Badan Pusat Statistik).

Terus terang saya tidak terlalu paham statistik. Saya harus mengulang dua kali untuk pelajaran ini pada waktu kuliah dulu. Akan tetapi kedua angka kemiskinan di atas mengukuhkan pendapat Darrel Huff penulis buku ”How to Lie With Statistics.”

Dalam pengantar buku yang diterbitkan pada 1983 itu, Darrell mengemukakan, statistik dapat – bahkan sudah sering -- digunakan untuk berbohong. “Isi buku ini semacam petunjuk untuk para penipu,” tulis Darrell. “Akan tetapi itu dalam nuangsa tentang seorang pensiunan pencuri ulung yang menulis buku petunjuk membongkar gembok: sebenarnya setiap pencuri sudah tahu trik-trik tersebut karena sudah sering menggunakannya. Orang jujur harus mempelajarinya untuk membela diri.”

Darrell Huff mengemukakan, kebohongan bisa terjadi dalam seluruh proses statistik. Itu bisa dimulai pada saat membuat konsep, ketika memilih dan menetapkan sampel/responden, pada waktu melakukan survei dan wawancara, ketika mengolah dan menabulasi data, menulis laporan bahkan ketika “membaca” laporan statistik.

Bagaimana membaca laporan statistik bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda, tergambar dengan jelas pada angka kemiskinan yang dikemukakan oleh SBY dan Hendri Saparini, seperti saya kutip di atas. SBY mengambil periode 1999-2005, sementara Hendri mengambil periode 2001-Juli 2005. Versi SBY, jumlah orang miskin berkurang, sementara versi Hendri meningkat.

Lalu, siapa yang benar? Kata Darrell, statistik tidak pernah berbohong. Orang yang menggunakan statistik itulah yang berbohong. Jadi, kedua angka di atas sesungguhnya benar. Versi SBY benar untuk periode 1999-2005, sementara versi Tim Indonesia Bangkit – diwakili oleh Hendri Saparini – juga benar untuk periode yang dipilihnya.

Lalu, mengapa keduanya memilih periode yang berbeda? SBY dan Hendri pasti punya motif yang berbeda. Saya terus-terang tidak tahu apa motif keduanya. Akan tetapi begitulah, antara lain, cara menggunakan statistik untuk “berbohong”. Hanya dengan mengubah periode pembacaan data, maka hasilnya berbeda bagaikan langit dengan bumi.

Kita tidak perlu gusar mengenai hal itu. Masih ingatkan, ada 13,4 juta entri yang berkaitan dengan “lie with statistics” di Google.com (kalau tidak percaya search saja sendiri). Darrell Huff juga menunjukkan, ketika inflasi tidak terkendali di Amerika Serikat pada era pemerintahan Presiden Ronald Reagan, maka biaya perumahan diubah dalam formula penghitungan inflasi. Tujaunnya, tentu saja menurunkan angka inflasi.

Mantan Gubernur Bank Sentral AS, Alan Greenspan juga mengusulkan kepada Kongres AS agar formula perhitungan inflasi diubah sebagai cara mengurangi peningkatan biaya hidup untuk anggaran jaminan sosial. Tidak suka pada angka pengangguran yang terlalu tinggi? Keluarkan angkatan kerja yang memang “ogah” bekerja dan penganggur terselubung (jam kerja mingguan kurang dari normal) dari perhitungan, maka jumlah penganggur pun berkurang separuh.
Itu di AS. Di Indonesia, berkaitan dengan angka kemiskinan ini, belakangan Pemerintah mengakui memang menggunakan data lama. Mengapa SBY – atau tepatnya juru tulis pidato SBY – memasukkan data lama yang sudah basi ke dalam pidatonya? Ada beberapa kemungkinan:

Pertama, mungkin mereka yakin tidak ada anggota DPR yang akan memperhatikannya. Ini bukan perkiraan yang sembarangan. Karena seperti yang sering kita lihat di layar TV, sejumlah anggota DPR tertidur ketika menghadiri sidang paripurna. Faktanya, yang protes memang bukan DPR, tetapi Tim Indonesia Bangkit (kebetulan salah satu anggotanya juga anggota DPR).

Kedua, semata-mata karena keteledoran, ketidakbecusan dan kemalasan staf Presiden SBY. Padahal, kalau memang di BPS data tersebut belum tersedia kan bisa “meminjam” data Tim Indonesia Bangkit.

Ketiga, mereka mungkin menyajikan data basi alias kedaluarsa karena yakin tidak berbahaya jika dibandingkan dengan obat atau makanan kedaluarsa yang dapat meracuni kita.

Keempat, ........ah sebaiknya kita tanya langsung ke Presiden SBY mengapa dia menggunakan data lawas itu? Semoga jawabannya bukan ini: memang kenapa, saya ini kan Presiden! (Baso Amir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar