“Kementerian Negara BUMN berharap penyelesaian masalah-masalah yang menyandera sejumlah BUMN dipercepat. Sebab, penundaan penyelesaian masalah-masalah itu justru akan meningkatkan beban pemerintah.”
Di atas adalah kutipan berita Seputar Indonesia edisi 1 Mei 2006 berjudul “Penuntasan Masalah BUMN Harus Dipercepat.” Mau tahu siapa sumbernya? Dia adalah Said Didu. Jika pembaca sekalian belum tahu, Said Didu adalah Sekretaris Menteri Negara BUMN (Badan Usaha Milik Negara). BUMN bermasalah yang dimaksud Didu pada berita itu PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara Airline dan PT Bank Mandiri Tbk.
Kita sebenarnya dapat memahami dan memaklumi jika kutipan pernyataan di atas berasal dari para pengamat bisnis dan ekonomi atau anggota DPR. Tugas pengamat memang hanya itu, memberikan saran dan usulan. Akan tetapi, pernyataan ini berasal dari orang nomor dua di Kementerian Negara BUMN, suatu lembaga yang memang ditugasi mengurus BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Lalu, siapa yang diharapkan oleh Said Didu menyelesaikan masalah-masalah BUMN tersebut? Bukankah itu tugas Kementerian BUMN? Untuk apa lembaga itu diadakan? Untuk apa menteri dan para stafnya dibayar dan diberi berbagai fasilitas jika tidak sanggup menyelesaikan masalah-masalah BUMN?
Sekadar menyegarkan ingatan, masalah Garuda dan Merpati sama: pendapatannya tidak cukup untuk menutup biaya-biayanya alias rugi. Akibatnya, kedua BUMN kehabisan modal dan tidak mampu membayar utang-utangnya. Keduanya meminta tambahan modal dari Pemerintah, sebagai pemegang saham mayoritas.
Masalah Bank Mandiri lain lagi. Seperti pernah saya tulis sebelumnya, bank BUMN dengan kekayaan paling besar di Indonesia (Rp 254,29 triliun per Desember 205) ini didera kredit macet. Kredit bermasalahnya atau sering disebut non-performing loan (NPL) sekitar 16,14% dari total kredit sebesar Rp 100,203 triliun atau Rp 16 triliun. Duit sebanyak itu dapat digunakan membeli sekitar 72.000 buah mobil Kijang Innova tipe V. Direksi Bank Mandiri mengusulkan agar diizinkan menghapuskan dari pembukuan kredit macet tersebut atau menjualnya ke sebuah perusahaan khusus yang disebut special purpose vehicle (SPV).
Manajemen Garuda sudah meminta tambahan modal sejak pertengahan 2005. Merpati lebih awal lagi. Menteri Negara BUMN, Sugiharto, berkali-kali mengemukakan, pemerintah akan mempertahankan eksistensi Garuda, juga Merpati. Bahkan ia pernah mengemukakan tiga opsi penyelamatan kedua BUMN penerbangan itu. Pertama, pemerintah memberikan dana talangan. Kedua, pemerintah menerbitkan surat garansi (undertaking letter) untuk menjamin utang baru yang akan dibuat kedua BUMN itu. Ketiga, membentuk perusahaan khusus untuk mengambil-alih kewajiban Garuda dan Merpati. Pertemuan tingkat menteri juga sudah berkali-kali diselenggarakan untuk menyelesaikan kemelut yang seolah tiada akhir buat Garuda dan Merpati itu.
Akan tetapi, tampaknya, segala usulan dan pertemuan itu hanya wacana, sekadar “omong-omong doang.” Hingga sekarang belum ada realisasi karena keputusan memang belum dibuat. Demikian pula halnya nasib usulan Manajemen Bank Mandiri yang telah diajukan sejak kuartal ke-2005, jadi kurang lebih setahun yang silam. Konon, usulan itu terganjal oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14/2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Pemerintah – itu jika Kementerian Negara BUMN masih dianggap bagian dari pemerintah -- ”lelet” pada kasus Garuda, Merpati dan Bank Mandiri memang bukan lagi sekedar kesan, tetapi fakta. Lalu, sebenarnya masalahnya di mana? Jika terganjal PP, maka pemerintah dapat mengubah PP tersebut seperti halnya dapat membuat PP. Apakah persoalan (ekonomi) kita memang begitu banyak sehingga “kapasitas terpasang” pemerintah tidak cukup untuk menyelesaikannya? Jangan-jangan pemerintah memang tidak tahu harus melangkah ke arah mana alias tidak punya visi.
Menurut saya, yang kita hadapi sekarang adalah gabungan hal-hal di atas. Selain lelet, ya kurang visi dan sering tidak bertindak jika tidak benar-benar sedang kepepet. Kita tentu masih ingat berapa lama Pertamina dan Exxon berunding. Berapa lama kenaikan harga BBM ditunda-tunda sehingga ketika akhirnya dinaikkan dengan kalap sebesar 100% kita semua – kecuali para pejabat pemerintah karena bensinnya ditanggung negara – semaput. Padahal, jika pemerintah cerdas dan benar-benar tidak mau lagi menyubsidi BBM untuk rakyatnya, harganya bisa dinaikkan secara gradual (bertahap) sesuai perkembangan pasar. Toh kenaikan harga minyak mentah menjadi US$ 70 per barrel tidak dengan serta-merta dalam semalam.
Berapa lama (lagi) kita bisa bertahan dengan pola-pola seperti ini. Sementara persoalan terus bertambah. Pabrik berhenti (sementara) berproduksi karena buruh sibuk berdemonstrasi. Pabrik pupuk tutup karena tidak puya bahan baku gas alam, padahal kita produsen gas alam. Kita salah satu pemilik hutan hujan tropis terluas di dunia, tetapi satu per satu pabrik kayu lapis tutup karena tidak punya bahan baku, dan masih banyak persoalan lainnya. Dalam kondisi seperti itu tentu menggelikan jika muncul pernyataan seperti yang dikemukakan oleh Said Didu, yang meminta masalah BUMN diselesaikan dengan cepat. Masalahnya, siapa yang ditunggu untuk menyelesaikan persoalan itu? Godot?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar