Bursa Efek Jakarta (BEJ) mengumpulkan para corporate secretary perusahaan terbuka yang sahamnya dicatatkan dan diperdagangkan di BEJ di Hotel Mulia Senayan, Jakarta. Agenda pertemuan pada 6 Desember 2006 itu workshop. Temanya panjang: Membina Hubungan Ideal dengan Media dalam Membantu Meningkatkan Image Perusahaan.
Saya, walau bukan corporate secretary, diminta mewakili perusahaan tempat saya bekerja yang kebetulan “Tbk” juga. Ternyata, menurut saya, itu bukan workshop, tetapi hanya diskusi biasa. Diawali presentasi Rosiana Silalahi, Pemimpin Redaksi SCTV. Dia membahas fungsi media, bagimana proses kerja media hingga kiat menarik minat media (baca wartawan) terhadap perusahaan kita. “Kami membutuhkan clear message dan competent spoke person,” tegas Presenter Berita Terbaik Indonesia (menurut Panasonic) itu. Dia mengeluhkan banyak juru bisa perusahaan di Indonesia tidak mengerti apa-apa ketika ditanya sehingga sering hanya menjawab "no comment."
Apa yang dikemukakan oleh Rosi sebenarnya sangat normatif. Jangan berharap mendapatkan kiat bagaimana kita – sebagai corporate secretary – bisa menyajikan “clear message” sehingga media mau menyiarkannya? Bagaimana, misalnya, memahami standar pemberitaan sebuah media sehingga kita tidak perlu mengirimkan press release yang hanya akan menjadi pengisi keranjang sampah (mungkin sekarang langsung didelete karena press release dikirim by email)?
Setelah presentasi itu, “workshop” dilanjutkan dengan talkshow yang menampilkan lima narasumber. Dua dari perusahaan: Yuanita Rohali, Direktur Keuangan Bakrie Brothers Tbk dan Aminuddin, Corporate Secretary PT Astra International Tbk. Tiga dari kalangan media: Achmad Djauhar, Pemimpin Redaksi Harian Bisnis Indonesia, Andi Suruji, Kepala Desk Ekonomi Kompas dan Maya Puspita dari MetroTV.
Wakil perusahaan -- Pak Aminuddin dan Ibu Yuanita -- memaparkan bagaimana mereka menjalin hubungan dengan media pada masa-masa krisis. Astra ketika modalnya minus sehingga secara teknis sebenarnya sudah bangkrut dan Bakrie ketika melakukan restrukturisasi (utang dan bisnis) secara besar-besaran sehingga pada akhirnya pendiri perusahaan tersebut (Keluarga Bakrie) hanya menguasai beberapa persen saham.
Akan tetapi, dari sekian banyak pernyataan, yang menarik menurut saya apa yang disampaikn dengan lantang oleh Andi Suruji. Dia mengatakan, dengan tegas, “Sebenarnya perusahaan (terutama perusahaan publik) tidak perlu repot-repot membangun citra (image) yang bersifat kosmetik. Tumbuh-kembangkan saja reputasi perusahaan Anda setinggi dan sekuat mungkin sehingga pada akhirnya wartawan (media) yang akan mengejar-ngejar perusahaan Anda karena hendak menulis bagaimana membangun reputasi yang hebat itu.” Saya pikir, benar juga.
Jadi, sebenarnya workshop yang diperlukan adalah: Bagaimana membangun perusahaan dengan reputasi yahud! Ya nggak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar