November 2007 saya menulis bahwa tiba waktunya mempertimbangkan kembali menempatkan minyak mentah sebagai komoditas yang diperdagangkan di bursa berjangka komoditas. Hemat saya, hal tersebut semakin mendesak kita pikirkan lagi sekarang ini. Mengapa?
Pada perdagangan Rabu, 16 April 2008, di NYMEX (New York Mercantle Exchange), harga kontrak berjangka minyak mentah jenis WTI (West Texas Intermediate) kembali mencetak rekor tertinggi baru. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah perdagangan kontrak WTI sejak 1983 harganya mencapai US$115,14 per barel.
Tampaknya, rekor tersebut tak lama lagi akan pecah. Penyebab utama kenaikan harga tersebut bukan karena permintaan minyak mentah lebih banyak ketimbang pasokan yang tersedia. Spekulasi adalah pemicunya.
Ketika nilai tukar US$ terhadap sejumlah mata uang asing anjlok, investor mengalihkan asetnya ke bursa berjangka. Apalagi pada waktu yang bersamaan harga saham di berbagai bursa dunia juga ikut turun. Mereka, para pengelola dana, membeli kontrak minyak, emas dan berbagai komoditas lainnya untuk melindungi "aset" milik orang-orang superkaya yang dikelolanya.
Akibatnya, harga minyak melambung tinggi. Para pengelola dana yang sebenarnya tidak butuh minyak mentah itu -- paling tidak mereka hanya beli BBM -- mengerek harga kontrak setinggi mungkin. Mereka tidak peduli bahwa peningkatan harga minyak akan menyeret harga lain ke langit biru. Buktinya harga patokan minyak mentah produksi anggota OPEC juga ikut-ikutan naik.
Per 15 April 2008 harga OPEC basket -- begitu harga rata-rata minyak OPEC disebut -- ditetapkan US$105,73 per barel, naik US$1,71 per barel dari hari sebelumnya.Pada periode 2 Januari-15 April 2008 harga OPEC basket telah meningkat 14,85%. Padahal, sebenarnya, pada periode tersebut biaya untuk memompa minyak tersebut tidak meningkat sebesar itu. Sampai kapan para spekulan di bursa berjangka komoditas ini kita biarkan menyekik leher kita? (Baso Amir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar