Jumat, 06 November 2009

Tentang “National Summit”




Pada 29 Oktober 2009, sehari setelah peringatan Hari Sumpah Pemuda, Pemerintah menyelenggarakan hajatan nasional. Pemerintah menyebut hajatan itu, seperti dapat dilihat pada tulisan latar belakang di panggung tempat acara itu diselenggarakan di sebuah hotel berbintang 5 di Jakarta, National Summit 2009. Di acara itulah para pemimpin pemerintahan di tingkat pusat dan tingkat I bertemu, merembukkan program kerja Kabinet Indonesia Bersatu II.

Saya melihat tajuk National Summit 2009 sebagai suatu yang menyedihkan. Pertemuan para pejabat merupakan acara resmi Pemerintah Indonesia. Selain itu, sehari sebelumnya kita memperingati Hari Sumpah Pemuda yang salah satu isinya, “Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia.” Keprihatinan atas hal itu saya tuangkan dalam bentuk status di Facebook seperti ini, “Ya ampun, nyari judul dalam Bahasa Indonesia saja tidak bisa, masak harus National Summit? Betapa ironis, baru kemarin kita mengenang Sumpah Pemuda!”

Beberapa sahabat di Facebook menanggapi status tersebut. Yunus Bani Sadar, misalnya, mengusulkan National Summit diganti menjadi Nasional Sumit. Wahyuddin B. Wahid menulis, “Bhs Indonesia memang miskin bang....heheh.” Lalu Racmasari Indah menambahkan, “Yah..kadang kalo diindonesaiakan, lain donk artix kak, sory...sok pinter..hahaha.” (komentar saya tampilkan apa adanya, tidak diedit).

Ada juga komentar sinis seperti disampaikan oleh Salman Mattalitti dan Poriaman Sitanggang. Apa pun komentar rekan-rekan Facebook, ada satu hal yang patut dicatat: saya tidak sendirian dalam keprihatinan tersebut. Saya makin yakin setelah saya membaca artikel pakar bahasa Anton M Moeliono berjudul “National Summit”? di Kompas, 6 November 2009.

Ternyata, menurut Anton M Moeliono, National Summit melanggar salah satu pasal Undang-Undang Nomor 24 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Sayang sekali, “Walaupun di dalamnya ada pasal 32 yang mewajibkan pemakaian bahasa Indonesia dalam forum yang bersifat nasional, pelanggaran terhadap pasal itu oleh siapa pun tidak dapat dipidana karena memang tidak ada sanksinya. Jadi, berbeda dengan ketentuan tentang bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, ketentuan tentang bahasa nasional sekadar macan ompong.”

“Perlukah diajukan ujian materi ke Mahkamah Konstitusi?” tulis Anton M Moeliono. Kayaknya, untuk ini harus ditunda dulu. MK masih sibuk “melerai” perseteruan Cicak melawan Buaya!

1 komentar:

  1. mungkin terinspirasi dari bahasa yang dikuasainya selama ini, kalaupun ingin melihat Bangsa Indonesia mengusai Bahasa Inggeris, tidak semestinya peristiwa atau kejadian penting seperti itu, harus menggunakan Bahasa Internasional, karena dia harus sadar bahwa ada yang lebih penting ditanamkan pada Bangsa Indonesia saat ini, utamanya generasi mudanya, yaitu semangat lebangsaannya

    BalasHapus