Kamis, 02 Agustus 2012


Jakarta yang Aman dan Nyaman: Mulai dari Angkutan Umum

Angkutan umum yang aman dan nyaman merupakan impian seluruh warga Jakarta dan sekitarnya. Kelompok masyarakat pengguna merindukannya karena terkait langsung dengan kebutuhan transportasi hariannya. Adapun kelompok masyarakat menengah atas – yang sehari-hari bermobil ria di tengah himpitan kemacetan lalu-lintas -- mengharapkannya karena sarana angkutan umum yang aman dan nyaman merupakan salah satu “alat” pengurai kemacetan lalu-lintas di Jakarta yang kian hari kian parah. Angkutan umum yang nyaman dan aman akan mengurangi penggunaan mobil pribadi.

Masalahnya, gubenur DKI Jakarta silih berganti, tetapi benang kusut angkutan umum tak kunjung bisa diurai. Hal sebaliknya malah terjadi, angkutan umum makin amburadul, kian tak nyaman dan makin tak aman. Transjakarta, misalnya, setelah dioperasikan selama kurang lebih 9 tahun, selain bus-busnya mulai dimakan usia, pelayanannya pun tidak menjadi makin baik. Saya pernah berdiri di satu halte koridor 4 Transjakarta selama 40 menit tanpa tahu kapan busnya tiba. Bahkan, menurut tempo.co pelecehan seksual di Busway meningkat 100 persen. Mengerikan?

Itu belum seberapa mengerikan dibandingkan kejadian di bus kota konvensional. Di situ ada copet, pengamen, pedagang, tukang baca puisi bahkan pengkhotbah. Sesekali bus kota,  seperti dikutip oleh tempo.co, digunakan untuk merampok dan memperkosa penumpang.

Kendati begitu, seperti kita saksikan sehari-hari, Transjakarta, terutama pada jam-jam sibuk tetap penuh sesak. Antrian penumpang di halte transit Dukuh Atas dan Harmoni tetap “mengular.” Bus-bus konvensional pun setali tiga uang. Jika misalnya di tengah jalan penumpang diturunkan dan diminta pindah ke bus lain, mereka hanya bersungut-sungut sebentar lalu naik ke bus penampung. Para penumpang tak punya alternatif lain, kecuali mau bayar lebih mahal dengan naik taksi misalnya.

Ada persepsi keliru Pemerintah DKI Jakarta tentang angkutan umum. Kenyamanan selalu dianggap sama dengan penambahan rute baru, pembelian bus baru, pembangunan halte baru, pembangunan terminal baru dan berbagai sarana fisik lainnya. Tampaknya persepsi keliru itu masih dianut oleh dua pasangan calon Gubernur DKI Jakarta yang akan bertarung dalam Pemilukada putaran ke-2 September 2012. Pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaya Purnama yang menurut PoliticaWave – data sebelum Pemilukada putaran pertama diselenggarakan – mendapat Buzz tertinggi,  mengusung program kerja penambahan bus Transjakarta hingga 1.000 unit jika terpilih jadi gubernur. Lagi-lagi sarana fisik! 

Program pasangan Foke-Nara yang menurut PoliticaWave selalu menempati posisi ke-2 dalam hal "share of citizen" kurang lebih sama: meningkatkan pelayanan Busway.

Prasarana dan sarana fisik memang perlu untuk membangun angkutan umum yang nyaman dan aman di Jakarta (juga di kota lainnya). Akan tetapi itu tak akan berarti jika “perangkat lunaknya,” manusia, yang akan mengoperasikan sistem transportasi tersebut dibaikan. Akan tetapi itulah yang terjadi selama ini. Pemerintah tidak pernah menetapkan sistem operasi dan prosedur (SOP)  angkutan umum. Semua diserahkan ke masing-masing operator – yang dalam kasus angkutan umum konvensional bisa saja perorangan. Tidak ada, misalnya, aturan tentang standar prilaku, pelayanan dan ketrampilan yang harus dimiliki seorang sopir sebelum menjadi sopir angkutan umum. Di Jakarta, siapa saja boleh jadi sopir angkutan umum. Pemerintah baru kaget dan kebakaran jenggot jika ada sopir dan teman-temannya, merampok dan memperkosa penumpangnya. Setelah itu dibuat aturan reaktif, para sopir disuruh mengenakan tanda pengenal dan baju seragam. Tetapi beberapa bulan kemudian, seperti biasanya, ketika pemerkosaan mulai dilupakan, aturan itupun dilupakan hingga terjadi lagi pemerkosaan berikutnya!**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar