Tarif telepon akan naik 40 persen dalam tiga tahun mendatang. Anda konsumen telekomunikasi? Jika ya, maka Anda harus percaya berita ini. Sebab itu janji Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi, Agum Gumelar (detikcom, 27 Maret 2001).
Mengapa harus naik, bukankah yang sekarang saja sudah terasa mahal? Menurut Agum, untuk meningkatkan daya tarik investor terhadap dunia pertelekomunikasian di Indonesaia karena selama ini para investor masih melihat tarif telepon di Indonesia tidak menarik. Padahal, katanya, dalam beberapa tahun mendatang 4 juta satuan sambungan telepon (SST) yang diperkirakan akan membutuhkan dana US$ 4 miliar perlu dibangun.
Benarkah tarif yang sekarang tidak menarik investor? Mengapa harus konsumen yang menanggung biaya investasi pembangunan SST baru? Apa benar dengan tarif sekarang ini perusahaan telekomunikasi tidak beroleh keuntungan?
Landasan alasan Agum di atas lemah alias ngawur. Dengan tarif yang sekarang saja raksasa telekomunikasi dunia sudah berdatangan ke Indonesia. Mereka memang tidak terlibat secara langsung, tetapi bermitra dengan Telkom atau Indosat, entah di proyek KSO atau di Satelindo dan di Telkomsel.
Lalu, lihat kinerja keuangan PT Telkom. Pada tahun 2000, dari pendapatan sebesar Rp 9,38 triliun, pemegang hak monopoli bisnis telekomunikasi ini meraih laba bersih Rp 2,54 triliun. Itu berarti marjin laba bersihnya mencapai 27%. Lebih hebat lagi Indosat, laba bersihnya mencapai Rp 1,75 triliun dari pendapatan yang hanya Rp 2,85 triliun. Artinya, marjin laba bersih Indosat mencapai 61,4%. Ini suatu luar biasa. Terus terang, dalam kondisi seperti sekarang, boleh jadi yang dapat menyaingi marjin laba bersih Telkom (apalagi Indosat) hanya bisnis ekstasi dan, maaf, percaboan saja. Dari fakta itu, maka satu-satunya alasan kenaikan tarif adalah ingin mengeruk keuntungan yang lebih banyak, mumpung rakyat sebagai konsumen tidak punya pilihan lain. Jadi, wahai para pejabat, berhentilah ngibuli rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar