Kamis, 21 September 2006

Nakhoda Kembar di Telkom


Serikat Karyawan (Sekar) Telkom mengirimkan siaran pers kepada sejumlah media di Indonesia. Isinya, mereka mendesak pemerintah memecat Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk, Arwin Rasyid dari jabatannya. Arwin dinilai gagal memimpin BUMN beraset Rp 67,66 triliun itu.

Menurut Sekar Telkom, Arwin yang tidak berlatar-belakang telekomunikasi dinilai tidak pas memimpin perusahaan telekomunikasi sebesar Telkom. "Dirut Arwin Raysid harus diganti. Dia gagal membangun hubungan harmonis dengan bawahannya," tulis Ketua Umum DPP Sekar Telkom, Syinar Budhi Artha, seperti dikutip Sindo (edisi Kamis, 7 September 2006).

Menurut penilaian Sekar Telkom, kehadiran “orang luar” seperti Arwin menjadi Dirut Telkom membuat seolah-olah ada dua (2) nakhoda di Telkom. Nakhoda pertama Arwin Rasyid dan nakhoda kedua adalah Garuda Sugardo, Wakil Direktur Utama Telkom.

Memang mengerikan jika ada dua nakhoda di atas sebuah kapal, apalagi “kapal” yang bernama Telkom itu berukuran sangat besar. Per Juni 2006, seperti disebutkan sebelumnya, aset Telkom mencapai Rp 67,66 triliun, tumbuh 15,6% dari periode yang sama 2005 sebesar Rp 58,48 triliun.

Arwin mulai menduduki posisi Dirut Telkom sejak 24 Juni 2005. Jika mengacu pada kinerja keuangan Telkom, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi Sekar Telkom meminta Pemerintah sebagai pemegang saham untuk memecat Arwin. Untuk tahun 2005, Telkom membukukan pendapatan usaha Rp 41,807 triliun, naik 23,15% dari pendapatan usaha 2004 sebesar Rp 33,948 triliun. Laba bersih Telkom pada 2005 mencapai Rp 7,994 triliun. Ini berarti meningkat 20,85% jika dibandingkan dengan laba bersih per Desember 2004 sebesar Rp 6,615 triliun.
Per Juni 2006, Telkom membukukan pendapatan Rp 23,997 triliun per Juni 2006 atau sekitar Rp 3,999 triliun per bulan. Jika dibandingkan dengan periode yang sama 2005 sebesar`Rp 19,385 triliun atau Rp 3,231 triliun per bulan, berarti pendapatan Telkom meningkat 23,79%.
Laba bersih Telkom per Juni 2006 mencapai Rp 5,819 triliun, tumbuh 53% dari periode yang sama 2005 sebesar Rp 3,803 triliun.

Harga saham Telkom pun terus meningkat. Pada 24 Juni 2005, hari ketika Arwin dipilih menjadi Dirut Telkom, saham Telkom ditutup pada Rp 4.975 per saham. Pada 8 September 2006 harga saham Telkom di Bursa Efek Jakarta (BEJ) ditutup pada Rp 7.850 per saham. Itu berarti nilai kapitalisasi pasar Telkom telah mencapai Rp 158,256 triliun, naik 57,79% dari posisi 24 Juni 2005.

Salah satu ”tugas” Arwin di Telkom adalah meningkatkan nilai kapitalisasi pasar Telkom. Caranya, ya harga saham harus naik. Boleh jadi itu sebabnya hingga Arwin, didukung oleh pemegang saham, melancarkan aksi pembelian kembali (buy back) saham Telkom. Asumsinya, jika jumlah saham yang beredar di pasar berkurang diharapkan harga saham meningkat.

Dalam Laporan Tahunan 2005 Telkom disebutkan pencanangan ”sasaran 135-3010.” Ini adalah satu tekad untuk mengembangkan kapitalisasi saham Telkom sebesar tiga kali lipat dalam lima tahun untuk mencapai US$ 30 miliar pada akhir 2010. Jika satu US$ adalah Rp 9.500 maka kapitalisasi Telkom pada 2010 sebesar Rp 285 triliun.

Akan tetapi Sekar Telkom tidak silau atas angka-angka tersebut. Menurut Sekar Telkom, perusahaan ini seolah-olah punya dua nakhoda. ”Dirut dan Wakil Dirut terlihat saling berlawanan," terang Syinar. Keadaan ini membuat lingkungan kerja di Telkom tidak kondusif. "Banyak karyawan bekerja hanya ABS (Asal Bapak Senang)," tulis Syinar yang mengaku banyak menerima keluhan dari senior leader Telkom.

Sekar Telkom sendiri sudah mengusahakan berbagai cara menyatukan Dirut dan Wakil Dirut. "Tapi tidak bisa, makanya kita berharap kedua-duanya diganti saja oleh pemerintah," tandas Syinar.

Kehadiran dua nakhoda di sebuah BUMN memang bisa terjadi. Soalnya, kendati berdasarkan struktur organisasi Dirut sebuah BUMN berada di puncak piramida, ia sebenarnya tidak dapat memaksa anggota direksi di bawahnya untuk patuh padanya.

Seluruh anggota direksi BUMN sebenarnya punya ”kedudukan” yang sama karena semuanya diangkat oleh pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Pada kasus Telkom, misalnya, Garuda Sudargo kendati posisinya sebagai Wakil Direktur Utama dan berada di bawah garis komando Dirut – dapat saja tidak bertanggung jawab kepada Arwin Rasyid sebagai Direktur Utama.

Sekalipun Garuda Sudargo tidak mematuhi Arwin Rasyid sebagai Dirut, Arwin tidak akan dapat memecatnya. Hal yang dapat dilakukan oleh Arwin hanya mengusulkan kepada pemegang saham (dalam hal ini Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Negara BUMN) untuk memberhentikannya. Tetapi jika diberhentikan, siapa yang menjamin bahwa penggantinya akan mematuhi Arwin Rasyid sebagai Dirut Telkom? Apalagi jika pengganti itu merasa lebih tahu seluk beluk industri jasa telekomunikasi Indonesia. Akar masalahnya adalah: semua anggota direksi itu bertanggung jawab kepada pemegang saham.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar