Senin, 15 Oktober 2007

Bapak Tukang Ojek Sepeda

29 Ramadhan 1428H/11 Oktober 2007. Dalam perjalanan pulang dari kantor, saya mendengarkan acara Ida Harimurti Show di Radio Delta FM. Narasumbernya bernama Hotman Siregar (tidak tahu siapa dia karena saya masuk di tengah acara). Saya masuk ketika dia sedang menceritakan kisah seorang tukang ojek sepeda.

Menurut Hotman, seorang mahasiswanya (saya menduga dia seorang dosen) ingin bersedekah dengan langsung mendatangi seseorang yang dianggapnya miskin (harta). Oh ya, konteks cerita ini muncul karena sebelumnya Ida Harimurti dan Hotman membahas tentang prilaku beberapa orang kaya harta (saya juga sempat melihat di beberapa siaran berita TV), yang membagi-bagikan sedekah kepada fakir-miskin dengan mengundang mereka ke rumahnya. Akibatnya, fakir miskin (yang benaran dan yang hanya pura-pura miskin) beramai-ramai ke rumah orang kaya itu untuk mendapatkan amplop berisi Rp20.000 per orang. Tetapi, karena mereka datang secara bersamaan, maka terjadi antrian dan desak-desakan yang menyebabkan banyak orang yang jatuh pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit.

“Apa orang kaya itu sudah tidak percaya lembaga amil zakat sehingga harus membagikan sendiri sedekahnya yang menyebabkan jatuh korban?” tanya Hotman dengan nada tinggi. “Padahal yang diperoleh hanyaRp20.000. Ini sangat tidak seimbang dengan pengorbanan dan risiko fakir miskin itu. Mengapa mereka tidak langsung mendatangi fakir miskin tersebut di tempatnya, yang boleh jadi ada di tembok belakang rumahnya?

Dari situlah dia menceritakan mahasiswanya tadi. Nah, sang mahasiswa ini ingin bersedekah. Ia mendatangi seorang Tukang Ojek Sepeda di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dia sengaja mendatangi tukang ojek sepeda karena mahasiswa tadi beranggapan bahwa tukang ojek sepeda lebih miskin dari seorang tukang ojek sepeda motor.

“Pak, hari ini Bapak tidak usah narik. Saya akan menutup penghasilan Bapak hari ini,” kata mahasiswa tersebut kepada tukang ojek sepeda itu. Selain diberi uang lebih dari jumlah penghasilan hariannya, tukang ojek sepeda ini juga diajak ke restoran di sebuah hotel berbintang untuk berbuka puasa.

Begitu mau masuk restoran, sontak si tukang ojek sepeda melepas sandalnya. Ketika disampaikan bahwa ini bukan rumah, dia tidak perlu melepas sandalnya, sang tukang ojek sepeda menjawab, “Kasian sama orang yang bertugas membersihkan tempat ini, sandal saya kotor. Tidak apalah saya melepasnya.”

“Saya belajar banyak dari tukang ojek sepeda itu,” kata Hotman. Ini menunjukkan, demikian Hotman, betapa tukang ojek ini sangat menghargai orang lain. Suatu sikap yang diperintahkan oleh semua ajaran agama. Jadi, tukang ojek ini sebenarnya sudah menjalankan agama, walau boleh jadi dia tidak pernha tahu ayat-ayat tentang hal tersebut.

Di dalam restoran, sang tukang ojek disodori menu makanan dan minuman. Ada beragam juice dan minuman lainnya. Tapi, tukang ojek sepeda ini hanya memilih memesan secangkir kopi susu.

“Mengapa secangkir kopi susu. Pilih yang lain, Pak. Tidak perlu khawatir, duitnya ada!” kata sang mahasiswa yang mengajak tukang ojek sepeda ke restoran di hotel itu. Dari seluruh minuman di restoran, secangkir kopi susulah yang paling murah.

“Saya pilih kopi susu saja, karena saya sudah limas belas tahun tidak pernah minum kopi susu!”

Sang mahasiswa tersentak kaget. Masa Allah, 15 tahun tidak pernah menikmati secangkir kopi susu. Dia lalu membiarkan Bapak Tukang Ojek Sepeda itu memesan secangkir kopi susu.

Secangkir kopi susu datang. Sang Tukang Ojek Sepeda memejamkan mata sejenak ketika menghirup aroma kopi tersebut. Ia lalu menikmati kopinya. Dia menikmatinya teguk demi teguk. Dia mengulum dulu agak lama kopi tersebut di mulutnya sebelum menelannya. Dia menikmati kopi hingga benar-benar tandas, tidak tersisa setetes pun.

Hal itu merupakan pemandangan menakjubkan bagi mahasiswa tersebut. Ia seolah melihat bagaimana kopi itu melewati kerongkongan Bapak Tukang Ojek Sepeda itu, tetes demi tetes.

Melihat itu, sang mahasiswa memanggil pelayan dan memesan secangkir kopi susu lagi untuk Bapak Tukang Ojek Sepeda itu. Tetapi, Bapak itu menolak. “Cukup secangkir ini saja,” katanya. Cangkir pertama ini rahmat, tetapi cangkir kedua sudah mudharat, karena sudah berlebih-berlebihan.

Hotman mengaku tersentak mendengar pengakuan Bapak Tukang Ojek Sepeda yang sudah 15 tahun tidak pernah menyeruput kopi susu itu.

Terus terang, saya juga tersentak dan menangis di dalam hati mendengar cerita itu. Betapa sering saya tidak bersyukur Ya Allah. Saya yang setiap hari ke tempat kerja dengan kendaraan pribadi masih sering bersungut-sungut karena hal-hal yang kadang sepele. Padahal, saya bisa menikmati secangkir kopi susu, kapan pun saya mau. Sementara Bapak Tukang Ojek Sepeda itu harus menunggu lima belas tahun untuk secangkir kopi susu.

Selain itu, Bapak Tukang Ojek Sepeda ini, bisa menahan diri hanya memesan secangkir kopi susu yang sudah lima belas tahun tidak pernah diseruputnya ketika ada kesempatan untuk menikmati minuman lain yang jauh lebih mewah, lebih mahal harganya dan (mungkin juga) lebih enak rasanya. Bahkan, bisa menahan diri untuk hanya meminum secangkir ketika ada kesempatan untuk menikmati lebih dari secangkir.

“Dara mana Bapak Tukang Ojek Sepeda itu belajar semua kebijaksanaan itu?” tanya Hotman kepada Ida Harimurti. “Dia menjalankan ajaran agama dengan baik walau boleh jadi ia tidak pernah membaca ayatnya.”

Jadi, kata Hotman, lihatlah sekeliling kita. Banyak orang seperti Bapak Tukang Ojek Sepeda itu. Dia punya harga diri. Mereka tidak akan pernah menadahkan tangannya meminta bantuan, padahal sesungguhnya mereka perlu kita bantu.”

Dan orang yang seperti itu boleh jadi ada di sekeliling kita.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar