Senin, 08 Oktober 2007

Masa Depan 3G Indonesia

Oleh Baso Amir

“Saya coba video call, ternyata tidak menarik. Gambarnya patah-patah?” kata seorang teman tentang salah satu fitur layanan seluler 3G. “Saya kapok, bayarnya mahal!” kata teman yang lain. Seorang teman yang lain lagi mengatakan, kebutuhannya atas layanan seluler masih dapat dipenuhi oleh GSM generasi kedua (2G). “Wong keperluan saya hanya menelepon dan mengirim SMS kok. Kalau terpaksa sekali harus download data dan kebetulan sedang tidak di dekat komputer, ya saya gunakan GPRS,” katanya. Soalnya, data yang diunduh paling banter hanya e-mail.

Itu beberapa komentar atas layanan seluler generasi ketiga atau populer disebut 3G yang diperkenalkan oleh beberapa operator telepon seluler di Indonesia kurang lebih satu setengah tahun terakhir ini. Komentar tersebut memang tidak mewakili sebagian besar pemakai layanan seluler kita. Akan tetapi, dari komentar tersebut paling tidak tergambar prospek dan masa depan layanan 3G di negara ini.

Berkaca dari 2,5G

Sebelum 3G, layanan akses data secara mobile diberikan oleh para operator GSM melalui teknologi 2,5G. Setelah pelanggan terbiasa memanfaatkan layanan voice dan SMS, para operator menambahkan layanan GPRS (General Packet Radio Service). Ini memungkinkan pelanggan mengakses data dan menjelajah (browsing) Internet. Melalui layanan itu pelanggan bisa mengirim dan menerima pesan multimedia atau MMS (Multi Messaging System), Instant Messaging (IM), e-Mail dan mengakses situs Internet, terutama dalam format WAP.

Akan tetapi, seperti kita tahu, layanan GPRS di Indonesia boleh dikatakan layu sebelum berkembang. Jumlah penggunanya tidak pernah beranjak mencapai satuan yang memungkinkan operator meraih keuntungan ekonomis, sementara pada waktu yang sama mereka sudah mulai disibukkan oleh layanan 3G.

Kita tidak tahu persis berapa jumlah pelanggan GPRS masing-masing operator seluler di Indonesia. Akan tetapi jika melihat laporan keuangan operator penyedia layanan GPRS yang kebetulan sudah go-public dan sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta, dapat disimpulkan bahwa sumbangan komunikasi data terhadap pendapatan operator masih relatif`kecil. Dari sekitar Rp 7,69 triliun pendapatan usaha (revenue) PT Indosat Tbk per Juni 2007, hanya Rp 1,018 triliun (sekitar 13%) dari layanan “multimedia, data communication dan internet.” Sebagian besar (Rp 5,897 triliun) pendapatan tersebut berasal dari voice dan SMS.

Di sebuah blog dipaparkan, hanya sekitar 16% pelanggan Telkomsel yang menggunakan layanan GPRS. Tidak ditemukan keterangan bagaimana pola pemanfaatan GPRS oleh 16% pelanggan itu. Apakah mereka menggunakan layanan GPRS secara konsisten atau hanya sekali-kali saja? Yang pasti, seorang kenalan berhenti sama sekali menggunakan layanan GPRS, bahkan berganti provider, setelah mendapati kenyataan bahwa tagihan layanan selulernya membengkak empat kali lipat ketika menggunakan secara rutin layanan GPRS untuk download e-mail.

Sekarang ini, bagi operator, GPRS tidak lebih dari sekadar layanan tambahan. Luas area layanan GPRS nyaris tidak bertambah, bahkan di wilayah Jakarta saja masih banyak “blank spot” GPRS. Selain itu, di wilayah yang sudah tersedia layanan GPRS pun, koneksinya tidak stabil, kadang-kadang bisa tetapi tidak jarang pula koneksi GPRS tersebut tiba-tiba hilang ketika sedang browsing.

Mengapa 2,5G (baca GPRS) tidak berkembang? Banyak alasan untuk itu. Pertama, koneksi GPRS masih lemot (kecepatan maksimalnya sekitar 115 kbps dengan kecepatan rata-rata browsing 20-30 kbps). Dengan kecepatan seperti itu jika dibandingkan dengan tarif yang harus dibayar, maka GPRS tergolong mahal. Di kantor saya ada beberapa orang yang konsisten menggunakan GPRS untuk akses e-Mail jika sedang berada di luar kantor karena biayanya ditanggung oleh perusahaan. Itu merupakan alasan kedua: tarif mahal. Ketiga, tidak tersedia banyak content yang dapat diakses melalui GPRS. Banyak penyedia content yang dulu menyediakan versi WAP akhirnya menutup layanannya karena tidak mendapatkan keuntungan ekonomis dari penyediaan versi WAP.

Bagaimana Nasib 3G

Teknologi 3G lebih superior dari 2,5G, apalagi terhadap 2G. Kecepatan koneksinya paling tidak mencapai 215 Kbps, bahkan 3G dengan format CDMA, seperti diklaim oleh operator, bisa mencapai 2Mbps, lima kali lipat dari 3G yang diperkenalkan operator dengan standar GSM. Apakah itu dapat menjadi alasan para pelanggan akan berpaling ke 3G?

Sebenarnya, kebutuhan sebagian besar pelanggan telekomunikasi seluler di Indonesia masih dapat dipenuhi oleh teknologi 2G. Seperti dikemukakan oleh pelanggan, kebutuhan utamanya adalah menelepon dan (belakangan ini) mengirimkan SMS. Ini sebenarnya mewakili sebagian besar pelanggan HP di Indonesia. Berapa banyak di antara kita yang ingin melihat gambar lawan bicara ketika menelepon, seperti ditawarkan fitur video call layanan 3G? Apalagi jika untuk menikmati layanan itu diperlukan biaya tambahan, baik untuk membeli HP baru yang mendukung teknologi 3G maupun untuk berlangganan paket data 3G.

Seperti dikemukakan oleh Hasnul Suhaimi, sekarang Dirut PT Excelcomindo Pratama Tbk (ketika itu masih menjabat sebagai Director Consumer Market Indosat), hanya sekitar 0,5% pelanggan Indosat yang menggunakan layanan data seperti GPRS, 2,5% menggunakan layanan content SMS, sekitar 27% menggunakan layanan SMS antar pelanggan (person to person), dan 70% dipakai untuk layanan suara. Jadi berdasarkan hasil survei tersebut, sedikit sekali pelanggan yang bakal benar-benar memanfaatkan fitur akses data kecepatan tinggi dari 3G.

Kondisi tersebut hingga kini tampaknya belum banyak berubah. Pelanggan yang memanfaatkan layanan 3G di sebuah operator, seperti ditulis di web site ITStaf, hanya mencapai 150 ribu pada lima bulan pertama ujicoba layanan tersebut dan biaya berlanggan masih gratis. Diperkirakan, jumlah pelanggan akan turun drastis setelah biaya berlangganan mulai ditarik, seperti yang terjadi pada layanan GPRS. Jumlah pelanggan GPRS sekarang ini hanya sekitar 5% dari total pelanggan seluler.

Dengan kondisi seperti di atas, maka masa depan 3G di Indonesia akan sangat tergantung pada dua hal. Pertama, kemampuan para operator “meyakinkan” para pelanggan bahwa mereka membutuhkan layanan 3G. Untuk itu tidak cukup dengan mengiklankan fitur-fitur seperti video call, download ringtone dengan cepat atau menonton acara TV. Menonton acara TV di TV yang sebenarnya tidak pernah bisa dikalahkan oleh “tv” di HP. Orang akan menonton acara TV di HP jika benar-benar terpaksa. Apalagi, jika untuk menikmati tayangan TV di HP ada biaya tambahan.

Untuk itu, tiba waktunya menjadikan layanan 3G bukan sebagai paket terpisah dan berdiri sendiri dari layanan voice (juga SMS) seperti sekarang ini. Salah satu penyebab layanan GPRS tidak berkembang di Indonesia karena dijual “terpisah” dari layanan voice (plus SMS). Layanan tersebut diaktivasi terpisah dengan sistem penagihan (pembayaran) yang berbeda pula. Karena dijual terpisah dari layanan voice yang merupakan layanan utama dan paling banyak digunakan di Indonesia, maka GPRS dan juga 3G dipersepsikan sebagai fitur tambahan dan tidak berdampak pada layanan utama (voice). Akibatnya, pelanggan tidak merasa mendapatkan benefit tambahan jika menggunakan layanan tersebut tetapi sebaliknya menanggung beban tambahan.

Untuk berlangganan paket akses data dengan kuota 250 MB dari XL, misalnya, pelanggan membayar Rp99.000 per bulan. Untuk pelanggan kartu pasca bayar XPlor dengan tagihan rata-rata Rp 75.000 per bulan, maka tambahan beban Rp 90.000 (belum termasuk pajak) sebulan akan terasa berat.

Padahal, sebenarnya, biaya berlangganan Rp 90.000 per bulan itu sudah sangat, sangat murah jika dibandingkan dengan tarif SMS. Untuk mengirim satu SMS, pelanggan membayar Rp 250. Padahal ukuran data satu SMS hanya 160 bytes (karakter). Dengan membayar Rp 90.000 sebulan, pelanggan dapat mengunduh (download) data sebesar 250 MB atau 250 juta bytes atau setara dengan 1.562.500 SMS. Anda dapat membayangkan betapa murah biaya langganan paket data 3G kan? Harga SMS adalah Rp 1,56 per bytes, sementara harga paket data hanya Rp 0,00035 per bytes. Masalahnya, bagi pengguna, jika mereka mengunduh (baca: menerima SMS) maka yang menanggung Rp 250 itu adalah pengirim, sementara jika menggunakan layanan 3G maka yang menanggung biaya unduh data ya pelanggan sendiri. Inilah yang membuat layanan 3G terasa menjadi beban tambahan yang sialnya – bagi kebanyak pengguna seluler -- terasa lebih berat ketimbang biaya beban utama (langganan voice).

Jadi, seharusnya 3G “dijual” satu paket dengan 2G (voice dan SMS). Pengguna (pelanggan) seluler 2G – karena yang jumlahnya paling besar -- harus mendapatkan juga benefit dari teknologi 3G. Seperti dikemukakan oleh sejumlah pakar dan praktisi telekomunikasi seluler di sebuah seminar, layanan 3G selain superior dalam hal komunikasi data, juga (dapat) berdampak positif dalam hal tarif layanan panggilan atau suara. Jaringan 3G menyediakan kapasitas suara yang lebih besar. Jika pada GSM 2G tiap carrier hanya menyediakan 3 kanal untuk suara (voice), GSM 2,5G 7 kanal per carrier maka W-CDMA alias 3G bisa sampai 10 kali lipat, yakni 80 kanal.

Karena makin banyak kanal yang dapat disiapkan, maka secara teori tiap BTS bisa melayani pelanggan (baca: panggilan suara) sepuluh kali lebih banyak dari sekarang. Frekuensinya juga tinggi sehingga jarak antar BTS (Base Transceiver Station) bisa lebih rapat dan lalu lintas percakapan (trafik) yang dapat dilayani juga makin banyak. “Operator memang membutuhkan biaya yang lebih sedikit untuk suara jika memakai 3G. Jadi kalau biaya operasinya bisa dipangkas, tentu tarif panggilan juga akan lebih murah,” ujar Hasnul Suhaimi, ketika itu masih menjabat sebagai Director Consumer Market Indosat.

Dengan 3G maka ada peluang bagi operator untuk menurunkan tarif panggilan, bahkan boleh jadi bisa lebih murah ketimbang biaya fixed line. Telkom Flexi misalnya sudah menawarkan tarif Rp 49 per menit. Jika ini terjadi maka volume panggilan akan meningkat karena tidak tertutup kemungkinan pelanggan akan lebih senang menggunakan telepon seluler ketimbang telepon tetap (fixed) line.

Jika langkah ini bisa ditempuh, maka pelanggan tidak akan merasa bahwa 3G sebagai fitur tambahan atau fitur alternatif yang bisa digunakan atau tidak digunakan. Pelanggan akan memperlakukan 3G sama dengan SMS yang awalnya dianggap sebagai fitur tambahan. Karena fitur langsung dapat digunakan jika seorang menggunakan layanan seluler maka akhirnya pelanggan menerimanya sama dengan fitur utama (dan tidak akan tergantikan) telepon: komunikasi suara.

Kedua, tersedia beragam content 3G yang pelanggan tidak merasa terbebani (merasa rugi) jika membayarnya. Selain beragam, content (isi) tersebut harus eksklusif dan unik, tidak dapat (atau tidak mudah) diperoleh di tempat (format) lain.

Menyediakan content beragam, unik dan eksklusif merupakan tantangan terbesar bagi para operator. Akan tetapi itulah taruhan masa depan 3G. Jika content miskin, maka 3G akan bernasib sama dengan GPRS. Hanya content yang beragam, unik dan eksklusif yang bisa menyadarkan para pelanggan seluler bahwa “kebutuhannya” buka hanya voice (juga SMS) alias 2G tetapi 3G. Jika content TV yang disediakan oleh penyelenggara layanan 3G sama dengan siaran TV teresterial. maka percayalah tidak akan pelanggan seluler yang mau membayar untuk menontonnya.

Untuk itu, operator harus menjalin kerjasama dengan sebanyak mungkin content provider. Bahkan, sudah tiba saatnya operator seluler penyelenggara layanan 3G tidak hanya menjalin kerjasama dengan content provider dalam bentuk badan hukum (perusahaan) tetapi juga dengan perorangan. Kalau perlu, operator tidak hanya membangun dan memperluas infrastruktur jaringan 3G, tetapi juga menyediakan infrastruktur data center yang dapat digunakan oleh pemilik content perorangan. Jika infrastruktur tersedia, apalagi dapat dijangkau dengan biaya murah, maka penyedia content dapat fokus pada pengembangan content tanpa perlu memikirkan teknologi dan fasilitas untuk mengakses content tersebut.

Persepsi para pelanggan apakah menggunakan 3G untuk mengunduh data lebih mahal atau lebih murah akan sangat tergantung pada kualitas dan keragaman content yang disediakan. Jika misalnya, penyelenggara 3G dapat menyediakan data real time harga saham dengan biaya lebih murah ketimbang berlangganan ke penyedia data real time yang sebenarnya, maka pelanggan akan menggunakan layanan 3G. Demikian pula halnya dengan content yang lain. Layanan video clip on demand akan lebih menarik jika melalui 3G, apalagi jika hal itu tidak tersedia di tempat lain.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar