Jumat, 09 November 2007

Usulan Mencegah Harga Minyak US$300 per Barel

Harga minyak mentah dunia mencapai rekor tertinggi pada Rabu, 7 November 2007. Pada hari itu, minyak mentah jenis West Texas Interemdiate (WTI) atau populer disebut Light Sweet sempat mencapai US$98,10 per barel sebelum ditutup pada pada harga US$96,37 per barel. Itu berarti sepanjang 2007 ini harga minyak telah meningkat sekitar 60%.

Hal serupa terjadi pada OPEC Basket Price – harga indikator minyak mentah produksi anggota organisasi negara pengekspor minyak (OPEC). Pada periode 2 Januari-7 November 2007 OPEC Basket meningkat 61,75%, dari US$56,06 menjadi 90,71 per barel. Itu merupakan harga tertinggi selama ini.

Mengapa harga WTI meningkat hingga lebih dari 60% dalam tempo kurang dari setahun? Mengapa harga OPEC Basket yang merupakan harga jual rata-rata minyak mentah Saharan Blend dari Aljazair, Girassol (Angola), Minas (Indonesia), Iran Heavy (Iran), Basta Light (Irak), Kuwait Export (Kuwait), Es Sidar (Libya), Bonny Light (Nigeria), Qatar Marine (Qatar), Arab Light (Arab Saudi), Murban (UAE) dan BCF 17 (Venezuela) naik hingga 61% dalam waktu yang kurang lebih sama? Apakah biaya untuk memompa minyak mentah dari perut bumi memang meningkat pada periode tersebut sehingga harga jual minyak juga harus naik?

Minyak mentah, seperti komoditas lain yang diperdagangkan di bursa berjangka, penentuan harga jualnya “tidak lagi” seperti produk lain. Harga jual odol buatan Unilever, sebagai contoh, biasanya ditentukan dari biaya pokok produksi plus keuntungan yang hendak diambil oleh pabrikan dan jaringan distribusinya. Akan tetapi minyak mentah – juga komoditas lain seperti emas, perak, tembaga dan lain-lain -- ditentukan oleh jual-beli kontraknya di bursa berjangka. Harga kontrak tersebut tidak lagi mengacu pada biaya produksi plus keuntungan komoditas yang bersangkutan, tetapi berdasarkan persepsi para pedagang (entah untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan investornya).

Persepsi para pedagang di bursa berjangka yang sebagian besar bukan konsumen komoditas yang diperjual-belikan itu ditentukan oleh banyak faktor yang (sering) sama sekali tidak terkait pada biaya produksi komoditas. Harga minyak WTI, misalnya, bisa naik karena Iran, sebagai penghasil minyak, hendak memurnikan uranium. Lalu apa hubungan antara proyek pemurnian uranium Iran dengan biaya produksi WTI? Sama sekali tidak ada.

Selain itu, ketika mereka misalnya membeli kontrak berjangka minyak mentah WTI untuk penyerahan Januari 2008 itu tidak berarti pedagang (trader) benar-benar memerlukan minyak pada Januari 2008. Mereka – seperti lazimnya investor lainnya – hanya mengharapkan harga kontrak tersebut meningkat pada Januari 2008, sehingga ketika mereka menjual kembali kontrak tersebut, mereka meraih keuntungan.

Fenomena itulah yang kita hadapi sekarang ini. Harga komoditas yang merupakan kebutuhan utama semua orang – seperti minyak -- menjadi “permainan” sejumlah trader di bursa berjangka dengan motif dasar: mencari keuntungan. Lebih konyol lagi harga yang terbentuk di bursa berjangka itu menjadikan patokan harga harga jual produk turunan minyak mentah, seperti solar, bensin dan sebagainya. Pertamina, ketika menentukan harga jual Pertamax tidak pernah berdasarkan biaya produksi ril per satu liter Pertamax, tetapi berdasarkan harga indikator yang dibuat oleh Platt, sebuah lembaga riset energi di Singapura.

Dalam kondisi seperti di atas, barangkali sudah saatnya mempertimbangkan kembali komoditas apa saja yang diperdagangkan di bursa berjangka di berbagai negara. Komoditis vital untuk setiap orang seperti minyak sebaiknya jangan diperdagangkan di sana. Suatu yang absurd jika menyerahkan pembentukan harga minyak mentah kepada para trader (baca spekulator) minyak yang motif utamanya semata-mata melipatgandakan modal yang ditanamkannya. Jika tidak, maka bersiaplah menghadapi minyak pada harga US$100, US$150 bahkan hingga US$300 per barel.** (Baso Amir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar