PT Dayaindo Resources International Tbk adalah hasil metamorfosis PT Karka Yasa Profilia Tbk pada 29 Juni 2007. Selain mengubah nama, bisnis emiten dengan kode saham KARK itu diperluas ke sektor pertambangan. Kendati begitu KARK masih tetap dikelompokkan sebagai emiten properti.
Pada periode 2 Januari – 30 Nopember 2007 harga KARK melambung 931,25%, dari Rp32 menjadi Rp 330 per unit. Ini menempatkan KARK sebagai saham sektor properti dengan peningkatan harga tertinggi pada periode tersebut. Bayangkan, kekayaan Anda sebagai investor jika kebetulan mengoleksi KARK tumbuh hampir 10 kali lipat dalam tempo kurang dari setahun.
Akan tetapi KARK tidak sendirian. Secara umum harga saham emiten properti pada periode di atas naik rata-rata 146,81%. Harga saham 28 dari 36 perusahaan properti yang sahamnya dicatatkan dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) meningkat dengan kisaran 1,89% hingga 931,25%. Hanya delapan dari 36 emiten properti yang harga sahamnya turun pada periode tersebut, dengan kisaran minus 9,18% hingga 39,38% (lihat: Tabel).
Setelah masuk sektor pertambangan, kinerja fundamental KARK membaik secara drastis. Pada tahun buku 2006 pendapatan KARK hanya Rp 7,462 miliar, turun 55,9% dari sebelumnya sebesar 16,929 miliar. Itu sebabnya jika pada 2005 KARK masih membukukan laba bersih Rp203,02 juta (Rp 0,42 per saham), maka pada 2006 merugi Rp 287,1 juta (minus Rp 0,6 per saham).
Per September 2007, KARK sudah membukukan penjualan Rp31,154 miliar, meningkat 586,1% dari penjualan per September 2006 yang hanya Rp4,538 miliar. Nilai penjualan selama sembilan bulan 2007 itu bahkan sudah melampaui penjualan sepanjang 2006. Akan tetapi, sektor properti hanya menyumbang Rp5,475 miliar atau 17,5% dari total penjualan KARK. Sebagian besar penjualan KARK berasal dari penambangan batubara. Seperti disebutkan dalam laporan keuangan per September 2007, batubara menyumbangankan penjualan Rp25,679 miliar, sekitar 82,5% dari total penjualan KARK per September 2007.
Dari penjualan sebesar Rp31,154 miliar itu, KARK membukukan laba bersih Rp2,054 miliar, tumbuh 2.818,24% jika dibandingkan dengan laba bersih per September 2006 yang hanya Rp70,371 juta.
Akan tetapi investor perlu berhati-hati. Ternyata, tidak seluruh emiten properti yang harga sahamnya meningkat diiringi dengan pertumbuhan kinerja fundamental pula. Ini, misalnya, dialami oleh PT Roda Panggong Harapan Tbk, PT Panca Wiratama Sakti Tbk, dan PT Bhuwanatala Indah Permai Tbk.
Pada periode 2 Januari-30 November 2007 harga saham Roda Panggong Harapan (RODA) naik 631,43%, dari Rp35 menjadi Rp256 per saham. Pendapatan RODA juga naik 20,13% pada periode tersebut, dari Rp5,363 miliar menjadi Rp6,443 miliar. Akan tetapi jangankan meraih laba bersih, secara operasional emiten beraset Rp73,228 miliar itu masih merugi Rp508,553 juta, lebih besar dari kerugian per September 2006 sebesar Rp431,52 juta.
Adapun harga saham Panca Wiratama Sakti meningkat 271,43% pada periode tersebut. Namun tidak demikian dengan kinerja keuangannya. Dari pendapatan yang meningkat 185% menjadi Rp 1,812 miliar per September 2007, perusahaan tersebut justru membukukan kerugian Rp 20,032 miliar.
Tampaknya, RODA, juga Panca Wiratama Sakti diuntungkan oleh pasar saham yang secara umum meningkat pada tahun ini. Indeks harga saham sektor properti Bursa Efek Indonesia (BEI) per 30 November 2007 mencapai 232,089 poin, tumbuh 88,62% dari posisi awal tahun, 123,044 poin. Pada periode tersebut, IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) BEI – nama hasil merger BEJ dengan Bursa Efek Surabaya (BES) – hanya tumbuh 46,38%, dari 1.836,520 menjadi 2.688,332 poin. Dari segi pertumbuhan indeks, sektor properti menempati urutan ketiga setelah sektor pertambangan dan sektor pertanian yang masing-masing tumbuh 227,88% dan 110,53%.
Bagaimana sektor properti ke depan? Apakah masih berpeluang harga sahamnya tetap menguat? Kondisi suku bunga perbankan pada 2008 diperkirakan kurang lebih sama dengan 2007. Bank Indonesia bahkan sudah menurunkan suku bunga acuan BI Rate menjadi 8% pada 6 Desember 2007 dari sebelumnya 8,25%. Hal ini akan memberikan iklim yang kondusif untuk penjualan properti secara kredit pada 2008. Itu sebabnya beberapa emiten terus membangun proyek baru. Anak perusahaan PT Ciputra Development Tbk yang baru-baru ini masuk bursa, PT Ciputra Property Tbk akan merampungkan proyek bernilai triliunan rupiah di Jakarta dan Surabaya. Hal yang sama dilakukan oleh PT Lamicitra Nusantara Tbk yang akan membangun Plaza Jembatan Merah 3, Surabaya tahun depan.
Akan tetapi masih layakkah saham Lamicitra yang telah meningkat 366,67% dikoleksi untuk tahun depan? Laba bersih per saham Lamicitra pada 2007 diperkirakan hanya Rp0,75. Itu berarti dengan harga saham Rp350 maka rasio harga saham terhadap laba bersih (price to earning ratio) atau PER perusahaan tersebut telah mencapai 466,6 kali. Jadi, harga saham Lamicitra sudah amat mahal, sebab PER rata-rata BEI sekarang ini hanya sekitar 15,03 kali.
Untuk itu, andalan investasi saham sektor properti tahun depan tetap pada nama-nama besar seperti Bakrieland Development Tbk, Lippo Karawaci Tbk, Jaya Real Property dan Moderland Realty Tbk. Harga saham ke-4 emiten tersebut pada 2007 juga sudah meningkat, tetapi tidak sepesat peningkatan harga saham Lamicitra maupun Dayaindo Resources. Selain itu, kinerja fundamental emiten tersebut masih cukup solid. Laba bersih Modernland misalnya naik 1.597% menjadi Rp26,75 miliar atau Rp10,84 per saham per September 2007. Dengan harga saham Rp500 per unit, maka PER Modernland memang telah mencapai 34,5 kali, masih lebih tinggi dari PER rata-rata BEI.
Adapun Ciputra Group masih harus berkutat dengan persoalan fundamentalnya. Per September 2007, laba bersih Ciputra Development turun 82,17% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun Ciputra Surya, walau pendapatannya naik 28,5%, laba bersihnya juga turun 15,34%. Sementara Ciputra Property masih merugi dan nilainya cenderung naik pada 2007. Wajar jika sepanjang 2007 harga saham perusahaan-perusahaan ini turun ketika emiten lainnya justru meningkat. Akan tetapi untuk jangka menengah dan panjang, Grup Ciputra tetap layak dikoleksi. Beban utang perusahaan tersebut tidak seberat dua tahun yang silam karena sudah direstruktur dan sebagian dikonversi menjadi modal setor. Itu sebabnya, ke depan, manajemen Grup Ciputra dapat konsentrasi membenahi kinerjanya.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar