Pertanyaan di atas mulai menggoda saya ketika tahu bahwa anak sulung kami, lelaki, mengidap sindrom ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Gejala anak seperti ini adalah mudah terdistraksi dan tidak dapat berkosentrasi dalam waktu relatif lama (anak kami paling lama 20 menit). Anak pengidap ADHD cukup sulit untuk menghapal sesuatu, kecuali sesuatu itu sangat diminatinya.
Anak kami tidak mudah mengikuti pelajaran sekolah karena hampir semuanya harus dihapalkan. Di SD umum dia tidak naik ke kelas dua. Kami lalu memindahkannya ke SD Pantara, sekolah khusus untuk anak-anak dengan gejala ADHD. Dia maju pesat di Pantara. Kelas 4 di Pantara oleh guru pembimbingnya disarankan kembali ke sekolah umum. Alhamdulillah, tahun ini ia lulus SMP dan diterima di SMU.
Berbulan-bulan sebelum UAN saya menyaksikan bagaimana anak saya belajar habis-habisan untuk menghapalkan pelajaran yang akan diujikan. Di sekolah ada les tambahan dari guru kelas. Selain itu ada guru khusus di rumah. Anak ini sudah menyadari punya kelemahan untuk "memorized" pelajaran sehingga harus dipelajari berulang-ulang. Sebab sekalipun dia tahu menggunakan sebuah rumus matematika, tetap saja rumus itu harus dia dihapal. Nah di situlah masalah yang dihadapinya!
Itu sebabnya dengan nada bercanda, saya bertanya kepada guru yang saya panggil ke rumah. Ia lulusan Universitas Nasional Jakarta (dulu IKIP). "Mengapa ya di sekolah kita tidak boleh membuka buku ketika ujian, sementara dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat setelah lulus sekolah, kita boleh membuka buku untuk menyelesaikan setiap masalah yang kita hadapi? Mengapa "kehidupan" di sekolah harus berbeda dengan "kehidupan" setelah sekolah?Guru muda itu tercenung atas pertanyaan itu. "Iya..ya, kenapa ya?" dia bertanya bali.
Dia juga mengaku tidak pernah memikirkan hal tersebut. Hal serupa dikemukakan oleh guru lain yang lebih senior. Ia bahkan menambahkan, "Sebenarnya, tidak ada juga jaminan bahwa murid bisa mengerjakan soal dengan benar sekalipun membukuka buku."
Mungkin ada di antara Anda sekalian yang bisa menjawab pertanyaan ini. "Mengapa di sekolah kita tidak boleh membuka buku ketika ujian, sementara setelah sekolah, dalam kehidupan yang sebenarnya, kita boleh membuka buku apa saja jika sedang menghadapi ujian (baca: masalah)?" Idealnya, di sekolah seharusnya diajarkan bagimana pelajar menyelesaikan "persoalan" kehidupan, bukan menghapal sejumlah hal yang belum tentu digunakan setelah sekolah rampung?
Coba, berapa persen di antara yang Anda hapalkan di sekolah Anda gunakan dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini? Seorang teman lulusan IPB yang kini bekerja di sebuah perusahaan Internet menjawab: 0%. Lalu untuk apa ya menghabiskan usia sekitar 16 di sekolah (kalau saya sekitar 19 tahun karena di perguruan tinggi 7 tahun)?.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar