Sebagai pemilih pasangan JK-Win saya kecewa setelah melihat hasil quick count sejumlah lembaga survei yang menempatkannya di posisi ke-3. Waktu itu saya sudah yakin, berdasarkan hasil quick count pemilu legislatif, hasil versi KPU pemilu presiden akan seperti itu. Akan tetapi, walau kalah, saya senang ketika M Jusuf Kalla memberikan ucapan selamat kepada SBY. Kepada diri sendiri saya berkata, “Petarung tulen harus seperti itu, berbesar hati mengakui kekalahan jika memang kalah.”
Akan tetapi setelah membaca berita hari ini saya benar-benar kecewa pada JK-Win. “Sisalai bulungna na tingkokona,” begitu kata pepatah Makassar. Secara harafiah berarti, warna bulu ayam jago tidak selalu mencerminkan suaranya ketika berkokok. Lain ucapan lain pula tindakan. Kepada sejumlah media JK berkata, “bisa menerima hasil pemilu” tetapi tindakannya justru mengingkarinya. Isi gugatan – walau itu dilakoni oleh tim sukses JK-Win, tidak tanggung-tanggung pula:
meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pemungutan suara pemilu presiden pada 8 Juli cacat hukum dan tidak sah
Katakanlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) memang amburadul, apakah itu cukup untuk jadi alasan membatalkan hasil Pemilu Pilpres? Katakanlah KPU (Komisi Pemilihan Umum) sontoloyo dan tidak profesional, apakah itu cukup menjadi alasan untuk membatalkan hasil Pilpres? Saya jawab, TIDAK!
Pada hari pemungutan suara, 8 Juli 2009, 127.983.655 rakyat Indonesia dengan penuh semangat datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Itu 72,56% dari total 176.367.056 pemilih. Dari jumlah itu, 121.504.481 suara dinyatakan sah: 32.548,105 (26,79%) untuk Mega-Pro, 73.874.562 (60,80%) untuk SBY-Boediono dan 15.081.814 (12,41%) untuk JK-Win. Sisanya, 6.479.174 suara dinyatakan tidak sah. Sementara, 48.383.401 warga Indonesia lainnya tidak menentukan sikap, bisa karena tidak tercantum di DPT, namun dapat pula karena memilih untuk tidak memilih alias golput.
Dengan hanya 48.383.401 atau 27,44% pemilih yang belum menyatakan sikap – dengan dua alasan di atas – apakah pantas hasil pemilu presiden 8 Juli 2009 dinyatakan tidak sah. Juru bicara Tim Sukses JK-Win mengemukakan, gugatan ini adalah pembelajaran demokrasi. Nah, pembelajaran demokrasi apa yang dapat dipelajari dari fakta seperti itu? Pemaksaan kehendak! Ingat, 68,9% rakyat Indonesia sudah menyatakan sikap dan hasilnya – walau saya tidak menyukainya – SBY mendapat mandat untuk memimpin bangsa lima tahun mendatang. Hargailah itu jika memang Anda semua demokrat dan setuju demokrasi adalah cara kita memilih pemimpin.
Kita berandai-andai, MK mengabulkan gugatan JK-Win dan pemilu harus diulang. Kita juga bisa membuat DPT yang sempurna tanpa cacat dan seluruh 54.862.575 pemilih (48.383.401 yang belum memilih dan 6.479.174 suara tidak sah) itu semua “lari” ke JK-WIN, maka hasilnya hanya 69.864.401 suara. Itu masih di bawah perolehan SBY-Boediono. Dan, sadarlah, hasil seperti ini suatu yang mustahil!
Sadar pulalah, DPT amburandul tidak 100% kesalahan KPU. UU Pemilu mengatakan, daftar pemilih dibuat dengan menggunakan data kependudukan yang disiapkan oleh Pemerintah. Kita tahu, hingga menjelang peringatan ulang tahun kemerdekaan kita yang ke-64, Indonesia belum memiliki sistem pencatatan penduduk yang berlaku nasional. Ini sebenarnya sumber utama ketidakakuratan DPT kita. Fakta kependudukan kita – akan berdampak kepada DPT – berubah setiap saat karena kelahiran, kematian dan pertambahan usia. Ada penduduk tercatat sebagai pemilih ketika DPT dibuat, beberapa hari kemudian meninggal. Namanya, ya tetap tercantum di DPT.
KPU memang ditugasi memutakhirkan data pemilih. Akan tetapi realistislah, bagaimana KPU akan memutakhirkan data tersebut? Karena tidak ada pangkalan data penduduk nasional, ya satu-satunya cara, KPU harus mengecek satu per satu rumah tangga. KPU jelas tidak akan sanggup melalukannya, karena itu berarti sama dengan melakukan sensus penduduk. Badan Pusat Statistik (BPS) yang memang terbiasa mengumpulkan data hanya melakukan sensus penduduk nasional sekali dalam 10 tahun! Sangat tidak adil jika tugas kita bebankan ke KPU dalam tempo beberapa bulan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar