Ide pembentukan perusahaan induk (holding company) BUMN muncul ketika Sugiharto menjadi Menteri Negara BUMN. Ketika dia tersingkir karena resuffle kabinet, ide ini tidak lantas hilang. Sofyan Djalil, pengganti Sugiharto, kembali menggulirkannya dengan frekuensi yang lebih tinggi. Akan tetapi seperti kita tahu, hingga kini ide tersebut tetap tinggal ide. Sofyan Djalil belum dapat mewujudkannya. Tampaknya Sofyan Djalil sudah menyerah juga sehingga ia mengatakan, nasib holding BUMN di tangan menteri baru.
Sebenarnya kita tidak memerlukan perusahaan induk BUMN. Ini hanya akan memperpanjang rantai birokrasi. Yang kita butuhkan adalah BUMN yang efisien, inovatif, berdaya saing tinggi serta dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya: dalam bentuk dividen yang dibayarkan kepada Pemerintah sebagai pemegang saham terbesar setiap tahun buku. Untuk mencapai itu, memang bisa melalui holding BUMN tetapi bisa juga tanpa holding. Sebuah BUMN, seperti perusahaan swasta lainnya, tetap bisa menjadi efisien dan mencetak keuntungan, sekalipun tanpa di bawah perusahaan induk BUMN.
Jadi, ketimbang menghabiskan banyak waktu, pikiran dan tenaga, untuk membangun holding BUMN yang belum tentu berdampak positif, sebaiknya Kementerian Negara BUMN fokus pada peningkatan kinerja masing-masing BUMN. Tugas ini bisa dibuat mudah jika ”politisasi” dalam pengelolaan BUMN ditiadakan atau paling tidak diminimalkan. Misalnya, dengan membuat transparan target yang harus dicapai oleh masing-masing BUMN. Bikin aturan, selama direksi mencapai target tersebut, maka mereka tetap dapat duduk di kursinya. Jadi, tidak ada lagi penggantian direksi BUMN dengan alasan penyegaran seperti yang terjadi selama ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar