Peristiwa datang silih berganti. Ada yang lewat begitu saja, tetapi ada pula yang mengusik pikiran. Artikel-artikel di sini adalah sikap saya terhadap berbagai peristiwa dan kejadian tersebut
Senin, 12 Oktober 2009
Kepemimpinan ala Toyotomi Hideyoshi
Judul: The Swordless Samurai-Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI
Penulis: Kitami Masao dan Tim Clark (Editor)
Penerbit: RedLine Publishing, Jakarta
Tebal: 262 halaman
Tahun: 2009
“Hideyoshi adalah pemimpin yang menakjubkan – dan paling luar biasa – dalam sejarah Jepang.” Itu kalimat pembuka Tim Clark, editor edisi Inggris The Swordless Samurai: Leadership Wisdom of Japan’s Sixteenth Century Legend dalam pengantar buku yang aslinya ditulis dalam bahasa Jepang oleh Kitami Masao.
Siapa Hideyoshi? Bagi saya, mungkin juga bagi banyak pembaca, nama Hideyoshi tidak sepopuler Musashi, salah seorang jagoan pedang Jepang. Terus terang saya baru tahu nama itu setelah membaca buku The Swordless Samurai. Akan tetapi setelah membacanya, menurut saya, klaim Tim Clark tidak berlebihan. Hideyoshi – meneruskan visi majikannya, Lord Nobunaga yang tewas di tangan “letnannya” -- adalah “samurai” yang berhasil menyatukan Jepang di bawah satu pemerintahan setelah hampir sepanjang abad ke-16 dikoyak perang antar klan. Pada 1585 ia dinobatkan menjadi kampaku atau wakil kaisar, jabatan tertinggi setelah Kaisar Jepang dan oleh Kaisar dianugerahi nama keluarga Toyotomi.
Dalam struktur masyarakat feodal Jepang yang sangat mengagungkan kelompok samurai, Hideyoshi memang bukan siapa-siapa. Dilahirkan pada 1536 di Nakamura, Provinsi Owari, Hideyoshi tidak punya kelebihan apa-apa. Ayahnya seorang petani yang lalu menjadi prajurit rendahan pada klan Oda dan setelah bertempur di beberapa medan perang berakhir cacat. Ia telah yatim ketika berusia tujuh tahun. Sepeninggal ayahnya, sang ibu menikah lagi, juga dengan seorang petani. Akan tetapi itu tidak membawa perubahan apa-apa pada keluarga tersebut. Mereka bekerja keras untuk sekedar bertahan hidup.
Hideyoshi tumbuh menjadi remaja bengal yang benci sekolah. Bahkan pendeta Budha pun tidak sanggup “menjinakkannya” setelah dikeluarkan dari sekolah dan oleh ibunya dititipkan di sebuah kuil untuk diajari disiplin.
Hideyoshi, seperti diakuinya, juga tidak menarik secara fisik. Tubuhnya kerempeng, tinggi badan hanya kurang lebih 150 cm, kepala besar dengan daun telinga lebar berkibar. Dengan fisik seperti itu, Hideyoshi sadar mustahil menjadi samurai hebat. Dalam perkelahian jalanan, kata Hideyoshi, “Seorang ronin (samurai tanpa majikan-BA) kelas tiga pun sanggup mengalahkan saya dengan cepat.”
Akan tetapi Hideyoshi tidak pernah meratapi kekurangannya itu. Ia menyadari punya kelebihan lain: kecerdikan serta antusiasme yang besar. “Aku harus lebih menggunakan kecerdikan daripada tubuh, khususnya jika aku ingin kepalaku tetap menempel di leher,” katanya.
Gaya dan kebijakan kepemimpinan Sang Swordless Samurai boleh jadi sudah pernah kita baca di berbagai buku kepemimpinan. Akan tetapi pesan-pesan kepemimpinan Hideyoshi bukan sekadar teori. Kebijakan itu lahir dari praktek, berdasarkan pengalaman hidup seorang anak petani miskin yang tidak berhak menyandang nama keluarga hingga naik ke puncak hirarki yang bisa dicapai seorang yang tidak terlahir sebagai kaisar: kampaku.
“Kalau kau memulai perjalananmu tanpa apa-apa, seperti yang kualami, peluang terbaikmu untuk maju adalah dengan mencari pemimpin yang luar biasa untuk dilayani.” Itu salah satu kebijakan Hideyoshi.
Setelah dipecat oleh keluarga Matsushita – majikan pertamanya – karena difitnah mencuri oleh para pembantu di keluarga tersebut, Hideyohsi tidak langsung mencari majikan baru. Ia meneliti sejumlah klan yang akan diabdinya. Ia akhirnya menetapkan untuk mengabdi dan melayani Klan Oda yang ketika itu dipimpin oleh Nobunaga. Walau tak punya apa-apa dan bukan-bukan siapa-siapa, Hideyoshi yang memutuskan pilihan. Dia tidak pasrah menyerahkan pada nasibya seperti pada majikan pertamanya.
Kendati baru berusia 21 tahun ketika itu, dimata Hideyoshi, Nobunaga adalah seorang pemimpin klan yang visioner. Dia tidak hanya handal bertarung dan memimpin peperangan, tetapi juga punya impian besar melampaui wilayah kekuasaannya: menyatukan Jepang di bawah satu pemerintahan. Hideyoshi menyukai visi itu. Masalahnya, bagaimana dia bisa meyakinkan Nobunaga bahwa dirinya bisa bermanfaat dan memberikan nikai tambah bagi klan itu. Hideyoshi tidak punya kualifikasi dalam derajat dan garis keturunan keluarga serta reputasi sebagai “jago pedang” untuk diajukan kepada Nobunaga.
Akan tetapi Hideyoshi akhirnya memutuskan Nobunaga harus menjadi mentornya. Pada musim panas 1554 di daerah pinggiran Provinsi Owari, Hideyoshi sedang berjongkok di balik semak, di seberang gerbang raksasa rumah seorang bangsawan yang hendak dikunjungi oleh Nobunaga. Begitu Nobunaga mendekat ke gerbang, Hideyoshi melompat keluar dari persembunyiannya, membungkuk rendah di jalanan sehingga alisnya nyaris menyentuh tanah, lalu berteriak, “Lord Nobunaga, saya hendak mengabdi kepada Anda.” Baso Amir (bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar