Rabu, 01 Desember 2010

Usulan Penetapan Harga Perdana Saham BUMN

“Rapat DPR-Krakatau Steel Berakhir Tanpa Hasil,” itu judul berita suatu portal berita. Rupanya rapat Senin (29/11) malam berlangsung hingga larut dan dihentikan sebelum Komisi XI DPR-RI mencapai kesepakatan dengan manajemen PT Krakatau Steel yang didampingi penjamin emisi Penawaran Perdana Saham BUMN baja tersebut.

Hasil apa sebenarnya yang diharapkan dari rapat kerja Komisi XI dengan Krakatau Steel? Apakah, misalnya, DPR ingin manajemen Krakatau Steel mengakui bahwa benar harga perdana saham Krakatau memang sangat murah, seperti tudingan banyak kalangan, bahkan ada pihak yang menggugat ke pengadilan dan meminta Penawaran Perdana Saham (PPS) Krakatau dinyatakan batal)? Jika itu yang diharapkan, maka raker mustahil membuahkan "hasil" sekalipun diselenggarakan berbulan-bulan seperti halnya rapat-rapat Pansus Bank Century tahun lalu.

Persekongkolan menetapkan harga perdana saham Krakatau Steel rendah -- jika memang ada -- juga tak dapat diungkap oleh audit investigasi BPK, jika DPR meminta hal tersebut. Persekongkolan ini -- sekali lagi jika memang ada -- tak akan meninggalkan bukti tertulis dari pelakunya. Hal seperti ini hanya bisa diungkap jika ada salah satu pelaku "berkhianat," lalu membeberkan bukti-bukti tersebut, rekaman rapat misalnya.

Harga perdana Krakatau Rp 850 per saham memang memicu kontroversi. Di satu pihak (antara lain Adler H. Manurung cs) mengatakan Rp 850 per saham sangat murah untuk BUMN seukuran Krakatau Steel dan merupakan penguasa pasar baja Indonesia. Di pihak lain, manajemen Krakatau, penjamin emisi serta Kementerian negara BUMN bersikukuh bahwa harga perdana tersebut sudah optimum.

Kedua pihak di atas tak akan pernah bisa bertemu. Keduanya berpijak pada dataran yang berbeda. Mengapa? Tak pernah ada ukuran penetapan harga perdana BUMN yang disepakati bersama sebelumnya. Akibatnya, kedua pihak menggunakan ukuran yang berbeda dan merasa paling benar sendiri.

Untuk itu, daripada membuang-buang waktu dan biaya mengejar bayang-bayang dengan rapat-rapat kerja. lebih bagus DPR-RI menetapkan patokan penentuan harga perdana saham BUMN jika hendak menjual saham ke publik. Lebih bagus kita fokus ke depan. Ingat, Krakatau bukan BUMN terakhir yang jual saham ke publik. Februari tahun depan masih ada Garuda Indonesia dan akan disusul oleh BUMN lainnya.

Patokan penetuan harga perdana saham BUMN harus kuantitatif dan transparan. Semua pihak bisa menghitungnya. Salah satu patokan yang bisa dipakai adalah Nilai Buku per Saham. Jadi, misalnya, ditetapkan DPR-RI mengizinkan sebuah BUMN melakukan penawaran perdana saham (PPS) jika harganya 5-7 kali dari Nilai Buku per Saham. Ini salah satu contoh ukuran. Masih banyak ukuran yang dapat digunakan, yang penting disepakati sebelumnya.

Nilai buku Krakatau -- berdasarkan laporan keuangan audit per Juni 2010 – Rp525,8 per saham. Jika ditetapkan, misalnya, 5 kali nilai buku per saham, maka harga perdana Krakatau ya 5 kali Rp525,8 = Rp 2.629 atau kita bulatkan jadi Rp2.650 per saham.

Dengan cara transparan dan kuantitatif seperti di atas maka kita bisa mengurangi waktu dan biaya debat kusir dan tidak saling curiga-mencurigai. Kalau ada yang usil tanya mengapa harganya 5 kali nilai buku per saham, Kemneg BUMN tinggal jawab, “Kami mau seperti itu. Setuju ya beli, tak setuju silakan beli saham lain.” Kan di BEI tak hanya ada Krakatau!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar