Minggu, 16 April 2006

Garuda Jadi Tekukur

Setelah memembaca berita Garuda Indonesia membutuhkan suntikan dana US$ 105 juta agar tetap dapat menjalankan bisnisnya (lihat Sindo, 7 Januari 2006), saya tiba-tiba teringat pada almarhum H.M. Daeng Patompo, Walikota Makassar pada tahun 70-an. Dia sukses membangun Makassar dengan dukungan dana yang minim dari Pemerintah Pusat.

Selain sukses sebagai walikota, Patompo juga dikenal humoris. Kadang-kadang, dia malah yang menjadi bahan lelucon. Salah satu lelucon tentangnya adalah tekukur.

Konon, suatu sore Patompo mendadak diundang menghadiri rapat di Jakarta. Walau rapat diselenggarakan keesokan harinya, dia meminta ajudannya membeli tiket Garuda karena sore itu juga akan berangkat. Ternyata, tak ada lagi penerbangan Garuda dari Makassar ke Jakarta hari itu.

“Garuda sudah terbang semua Puang,“ lapor sang ajudan.

Patompo menukas, “Cari yang lain, saya harus ke Jakarta sore ini juga.“ Ia lalu berpikir sejenak, “Ada itu yang lain....., tekukur. Ya, saya naik tekukur saja.“

Sang ajudan bingung. Setahu dia, tidak ada perusahaan penerbangan bernama tekukur. Dia yakin yang dimaksud Patompo adalah Merpati. “Maksud Puang, Merpati?“ sang ajudan memberanikan diri.

Dengan santai Patompo menjawab, „Merpati dan tekukur sama kan, keduanya sama-sama bisa terbang!“

Kini, sekian puluh tahun setelah Patompo silap lidah, tampaknya bukan hanya Merpati yang jadi „tekukur“, tetapi juga Garuda. Kedua maskapai penerbangan pelat merah itu sama-sama kesulitan keuangan, sama-sama dililit utang. Bayangkan, mengutip Sindo, utang obligasi Garuda sudah jatuh tempo pada Desember 2005 tetapi hingga kolom ini saya tulis belum juga dibayar. Jumlahnya, sekitar US$ 56 juta.

Itu sebabnya Garuda butuh dana talangan US$ 105 juta (sekitar Rp 1 triliun). Uang talangan itu, untuk kesekian kalinya, diharapkan datang dari Pemerintah. Selain untuk bayar utang, agar tetap bisa terbang, sebagian dana itu akan digunakan sebagai modal kerja.

Sebuah perusahaan kesulitan keuangan adalah biasa. Dalam belantara keuangan ini sering disebut miss match dan biasanya bersifat sementara. Artinya, perusahaan belum dapat memenuhi kewajiban yang sudah jatuh tempo karena jumlah uang yang sudah masuk kas – misalnya dari penjualan atau pendanaan pihak ke-3 – tidak sebanding dengan jumlah yang harus dibayarkan kepada pemasok, kreditor dan lain-lain. Perusahaan butuh dana talangan (bridging loan) yang akan dibayar kembali begitu perusahaan berhasil menagih piutangnya.

Masalahnya, ini bukan kali pertama Garuda meminta Pemerintah menalangi utangnya. Pada era Presiden Habibie, Pemerintah mengambil-alih pelunasan utang penyewaan pesawat Boeing 737 Garuda senilai US$ 1,8 miliar kepada Bank Exim Amerika Serikat. Pemerintah menyicil utang tersebut selama delapan tahun dan dana yang dikeluarkan itu dianggap sebagai penyertaan modal Pemerintah di Garuda.

Kini, Garuda kembali terperosok ke dalam lubang yang sama: tak punya uang untuk bayar utang dan modal kerja. Lalu, apa kerja para pengelola Garuda selama ini? Bukankah dulu, ketika dipimpin oleh Robby Djohan, Garuda digembor-gemborkan telah direstrukturisasi secara mendasar. Kantor pusat, misalnya, dipindahkan dari gedung megah di Jalan Medan Merdeka Selatan ke Cengkareng dengan alasan untuk berhemat dan memudahkan pengawasan operasional.

Abdul Gani yang ditunjuk menggantikan Robby Djohan (hanya memimpin sekitar delapan bulan) pada November 1998 mengumumkan, pada semester pertama 1999 Garuda sudah membukukan laba kotor Rp 507 miliar. Setahun penuh 1999 Garuda memetik keuntungan Rp 497 miliar. Ini meningkat menjadi Rp 631 miliar pada 2000 dan Rp 262 miliar pada tahun 2001. Tahun-tahun berikutnya diumumkan juga bahwa kinerja Garuda makin membaik.

Lalu, apa yang salah pada Garuda sekarang ini? Mengapa terbenam lagi ke dalam lumpur utang dan tidak memiliki cukup uang untuk melunasi utang obligasinya? Di mana seluruh hasil restrukturisasi yang dibangga-banggakan itu? Bukankah Emirsyah Sattar yang sekarang ini memimpin Garuda adalah bankir kawakan dan sebelumnya pernah menjadi Direktur Keuangan Garuda pada era Abdul Gani?

Kita tidak tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Jika pada 1998 dan 1999 disebutkan Garuda terpuruk karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah sehingga mendatangkan kerugian valuta asing, maka sekarang entah apa lagi yang harus dikambinghitamkan?

Kini kita menyaksikan “kepak sayap” Garuda makin loyo, sementara perusahaan penerbangan swasta yang masih seumur jagung makin gagah perkasa. Lion Air, misalnya, makin ekspansif dan berkibar. Garuda (juga Merpati)? Alih-alih meraih untung dan memberikan deviden, bayar utang saja tak sanggup dan terus-menerus minta disuapi oleh Pemerintah. Jangan-jangan, seperti analogi Patompo, Garuda memang telah berevolusi menjadi tekukur.**

1 komentar:

  1. Halo,
    Apakah Anda secara finansial turun? mendapatkan pinjaman sekarang dan bisnis Anda menghidupkan kembali, Kami adalah pemberi pinjaman dapat diandalkan dan kami memulai program pinjaman ini untuk memberantas kemiskinan dan menciptakan kesempatan bagi yang kurang istimewa untuk memungkinkan mereka membangun sendiri dan menghidupkan kembali bisnis mereka. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi kami melalui email: (gloryloanfirm@gmail.com). mengisi formulir Informasi Debitur berikut:

    Nama lengkap: _______________
    Negara: __________________
    Sex: ______________________
    Umur: ______________________
    Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
    Durasi Pinjaman: ____________
    Tujuan pinjaman: _____________
    Nomor ponsel: ________

    Email: gloryloanfirm@gmail.com ... silahkan mengajukan permohonan perusahaan yang sah.

    BalasHapus