Kamis, 13 Agustus 2009

Santun Budiman Punya Usul: Polisi Jadi Klien Termehek-mehek!

Walau bertetangga, sudah cukup lama saya tidak bertemu Santun Budiman. Saya ingat, pertemuan terakhir dengannya sebelum masa kampanye pemilihan umum presiden. Petang itu dia ke rumah dan mengajak saya menjadi relawan tim sukses salah satu pasangan capres-wapres. Dengan basa-basi full saya menolak tawarannya.

Pagi ini Santun ke rumah saya. "Saya habis menenangkan diri setelah jagoan kami kalah," jawabnya ketika saya tanya kemana saja sebulan terakhir ini. Hari ini, seperti biasanya, dia cukup gusar dengan fakta bahwa yang tertembak mati di Temanggung, Jawa Tengah, bukan Nurdin Moh Top, tetapi Ibrohim.

"Kok bisa-bisanya ya polisi keliru?" katanya.

"Ya bisalah. Polisi juga kan manusia," kataku setengah mengutip lirik sebuah lagu rock.

"Iya, saya tahu itu. Polisi memang manusia juga. Tetapi kan mereka sudah bertahun-tahun mengejar Nurdin, masak iya tidak bisa bedakan wajah Nurdin dengan wajah Boim?"

"Mungkin karena sama-sama suka ngebom, lama-lama wajahnya mirip," kataku sekenanya untuk melihat reaksi Santun.

"Ah, ngaco kamu. Ini masalah serius!" tukas Santun.

"Tetapi pertanyaanmu itu memang saya tidak bisa jawab. Mending kamu tanya ke beberapa orang yang mengaku sebagai pengamat teroris dan sering cuap-cuap di TV itu, mungkin mereka bisa jawab. Atau tanya langsung ke polisi," kataku.

Saya tahu Santun sebenarnya tidak memerlukan jawaban saya. Seperti biasa dia hanya ingin membagi beban berat keluh-kesahnya. Saya sendiri, sebenarnya setelah melihat tayangan langsung “penyerbuan” rumah Muhjahri itu punya banyak keluh-kesah dan pertanyaan. Karena tidak tahu siapa bisa menjawabnya, maka ya saya pendam dalam hati saja.

“Sebenarnya kamu juga punya banyak pertanyaan kan?” kata Santun. Dia rupanya sudah bisa membaca pikiran pula setelah menenangkan diri beberapa waktu, entah di mana.

Saya mengangguk!

“Sudah kuduga itu dari tadi,” katanya. “Karena susah mencari orang yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kita, ya sudah, kita berhenti bertanya,” tambah Santun.

“Setuju!”

“Akan tetapi mengajukan usul, boleh kan?” tanya Santun.

“Ya boleh-boleh saja, tetapi saya tak harus setuju kan?”

Santun tersenyum. Bola matanya berbinar dan seolah mengembang. Sekian tahun berteman dan bertetangga saya paham, itu tanda jika dia merasa menemukan ide brilian.

“Saya mau usul agar polisi jadi klien Termehek-mehek* untuk menemukan Nurdin Moh Top. Selama ini saya lihat di TV, tim itu belum pernah gagal mempertemukan klien dengan targetnya."

"Bercanda kamu!" kataku. "Klien Termehek-mehek itu sebagian besar ingin numpang populer dengan cara mudah sehingga dengan senang hati mau berbagi informasi. Sementara Nurdin bersembuyi dan disembunyikan habis-habisan oleh pengikutnya, mana ada yang mau ngasih info."

Santun tersenyum. "Saya memang bercanda," kata Santun. "Tetapi saya sangat gemas dan geram, kok hingga sekarang Nurdin belum tertembak juga, sementara korbannya terus berjatuhan. Selain korban bom, bayangkan, pengebom bunuh diri yang dari Bogor itu baru 18 tahun! Kok bukan Nurdin sendiri sih yang bawa bomnya jika dia yakin itu memang jihad?"

"Lagi-lagi bertanya? Dari tadi kan saya sudah bilang, saya tidak dapat menjawab pertanyaanmu."

Saya dan Santun terdiam!

Catatan kaki:

*Jika belum tahu, Termehek-mehek adalah reality show yang ditayangkan di sebuah stasiun TV. Tugas host acara itu mencari mencari orang-orang (target) yang sudah lama hilang kontak dengan kliennya (orang yang minta jasa pencarian.

1 komentar:

  1. Ironi segar. Yang penting, jangan ikut-ikutan mendesak dpr memberi keluasan wewenang kepada polisi dalam upaya memburu teroris. Obama sendiri, meski belum sepenuhya, sudah menutup simbol represif AS, Guantanamo.
    Khawatirnya, tindakan salah tangkap, salah tembak, salah sangka dan sbagainya, akan semakin marak. Padahal, sekarang saja, kita sudah saling curiga.

    BalasHapus